"Mereka siapa, Ma ?" Tanyaku penasaran.
Mama malah sibuk membetulkan jilbabku, gamisku, dan kacamataku. Terakhir bajuku disemproti parfum  EDT agar semakin wangi, bisiknya.
Bibi Mila, adik papa, ikut masuk ke dalam kamarku. Tetiba langsung memelukku. Ada apa? Bukankah tadi pagi kita sudah saling berpelukan saling meminta maaf. Ya meskipun tak ada yang perlu dimaafkan. Aku diminta duduk di atas kasur tempat tidurku. Mama duduk disampingku masih berusaha memperbaiki jilbab hijauku. Tak lama Mbak Yun juga masuk. Aku mulai sedikit gelisah. Kebingungan yang tak hentinya menerpa wajah polosku.
"Hari ini kamu akan dilamar, Nak".
#
Siang itu hujan berhasil membatalkan agenda Ifan bermain futsal bersama teman SMAnya dulu. Ah, hujan sialan. Gumam Ifan sendirian. Tapi hujan ini justru berkah bagi Naila. Karena hujan ini dia dan Ifan akhirnya tetap bersama tanpa diganggu oleh gerombolan anak SMA yang selalu lupa dengan pasangannya saat urusan sepakbola.
Syukurlah mereka masih di cafe sebelum hujan menderas Kota Semarang. Ifan kembali memesan americano demi menambal kekesalannya. Sejak tadi Naila hanya tersenyum melihat polah Ifan seperti anak kecil yang kesal tadi jadi dibelikan PS2 oleh ibunya.
Sambil sedikit kesal Ifan menjewer telinga Naila pelan, "Kenapa senyummu kayak begitu, hah?". Naila pun tertawa berpura-pura kesakitan.
"Aduh, duh. Sakit. Lagian ya kamu kayak anak kecil. Kesal tak jadi main futsal".
"Iyalah, mana hujannya deras banget ini. Batallah mencetak gol hatrik".
Naila masih terkekeh mendengar jawaban Ifan. "Setidaknya kan kamu bisa terus menemaniku disini". Ujar Naila dengan tatapan yang mirip seperti meledek anak kecil. Di jam-jam berikutnya obrolan mereka makin seru. Naila mungkin benar hujan di siang itu memberikan berkah sekaligus kesempatan untuk mereka ngobrol semakin akrab.