Suara notifikasi berbunyi. Sebuah pesan whatsapp masuk.
Kmu udh sampai mana?
klo dah nyampe stasiun nanti ak jemput ya.
Dengan cekatan aku membalasnya.
Nnti ketemu ditempat biasa aja.
Smartphone ku matikan lagi. Sudah hampir dua jam perjalananku menuju Kota Semarang. Dua jam yang seharusnya bisa memberikan titik terang dari kehidupan masa laluku yang pernah gersang. Aku tak pernah menginginkan pernikahan itu. Mama dan papa sama sekali tidak pernah mau berdiskusi dulu denganku. Atau setidaknya memberikanku kesempatan mengenal lebih dahulu dengan si pria berengsek itu. Pria yang telah menghancurkan mimpi-mimpiku.
Apakah kita masih di zaman Siti Nurbaya. Dipaksa menikah demi memenuhi keegoisan para orang tua. Bukankah sebagai anak aku berhak untuk menolak. Sejak kecil aku selalu bersama mama dan papa. Padahal mereka yang mendidikku dengan harapan-harapan masa depan meraih cita-cita. Padahal selama ini mereka juga berjuang agar aku menjadi anak cerdas, berprestasi, dan bisa meraih gelar akademik. Bekerja sebagai perawat dengan mengabdikan diri merawat luka-luka masyarakat yang membutuhkan pertolongan.
Tetapi aku sendiri tak mampu merawat luka-luka dalam batinku sendiri. Hidupku terasa didera berbagai macam beban yang tak mampu ku hadapi sendiri. Pilihan yang diberikan orang tuaku hanya dua. Menikah dengan Pras dan hidup bahagia, atau melanjutkan studi tanpa restu orang tua. Brengsek. Harusnya aku tak pernah pulang saat itu. Harusnya Pras dan keluarganya tidak pernah datang ke rumahku kala itu. Atau harusnya akulah yang tak ada di dunia ini.
Suara Ifan tak berhenti mendengung dalam telingaku. Tidak bisa ku bayangkan akan sehancur apa perasaan Ifan yang telah ku sia-siakan. Seorang pria yang selama ini mewarnai hari-hari indahku. Jika Ifan bertanya kemana cinta setia yang dulu pernah ku janjikan, harus ku jawab apa pertanyaan menyakitkan itu. Bagaimana aku bisa hidup bersama laki-laki yang tidak pernah ku kenal, bahkan tak pernah ingin ku kenal. Â
Air mataku tumpah ruah. Tidak ada yang menyadari isak tangisku dalam gerbong ini. Suara gujes-gujes kereta api kelas ekonomi ini lebih enak untuk didengar dari pada isak tangis perempuan sial sepertiku.
 #