Mama tahu sejak kecil aku ingin menjadi seorang perawat. Begitu lulus dari SMAN 28 Surabaya aku langsung mendaftar di Poltekes Semarang jurusan Keperawatan bersama teman-teman seangkatan lainnya. Papa juga selalu mendukung. Kuliah dimana saja dibolehkan asal tidak lupa ibadah, kuliah dengan benar, dan selalu mengabari orang tua. Aku termasuk anak yang sukses mendapatkan perhatian penuh dari orang tua. Berbeda dengan kakak dan adik lelakiku. Meskipun tidak pernah mengekang, tetapi perintah papa wajib dituruti oleh mereka berdua. Diantara ketiga bersaudara ini hanya aku yang diperbolehkan kuliah di luar Surabaya.
Semasa masih menjadi mahasiswa kebutuhan bulananku selalu tercukupi. Papa tidak pernah terlambat mengirimkan uang bulanan. Begitu pula dengan mama ada saja barang kiriman yang dititipkan lewat Mbak Yun, sepupuku yang tinggal di Semarang. Kebaikan papa dan mama tidak ku sia-siakan begitu saja. Belajarku selalu giat, tidak pernah meninggalkan tugas kuliah. Setiap ada praktikum teman-teman selalu mengandalkanku. Ujian semester selalu ku hadapi dengan tenang. Meski indeks prestasiku tidak termasuk yang tertinggi, tetapi melewati standar cumlaude sudah cukup bagiku.
Impianku menjadi seorang perawat rasanya begitu mudah untuk ku lewati. Nyaris tidak ada hambatan. Semua orang disekitarku mendukungku. Mama, papa, saudara, sahabat, termasuk Ifan. Ya, Ifanlah yang paling semangat mendukungku. Setiap ada tugas yang sulit, Ifanlah yang selalu membantuku. Padahal dia sendiri sedang berkutat dengan skripsinya kala itu. Aku cukup lemah soal angka. Jika ada persoalan yang mengandung sekumpulan angka, pasti akan ku serahkan pada Ifan. Â Kecerdasannya menyelesaikan rumus-rumus matematika membuatku sangat terbantu pada ujian statistika.
Ifan adalah mahasiswa UNNES yang sangat baik, sopan, dan tulus menjagaku. Mama dan papa sudah ku tahu tentang Ifan. Pada saat liburan semester enam, Ifanlah yang mengantarkan ku pulang. Aku senang ternyata mama papa tidak keberatan dengan kehadiran Ifan. Aku juga sangat senang Ifan berhasil menunjukkan sikap sopan dan hormatnya pada kedua orang tuaku.
Hari-hari berikutnya terasa begitu sempurna. Belum pernah terasa begitu bahagia. Segalanya berjalan dengan sangat baik. Ku pastikan semua wanita akan iri kepadaku. Memiliki keluarga yang sangat harmonis, mendukung langkah-langkah yang ku tempuh. Memiliki teman-teman yang tak pernah membuatku kecewa. Dan, tentu saja, aku memilki Ifan yang selalu menemaniku dengan setia.
Setidaknya itulah yang ku rasakan, sampai hari itu tiba. Hari yang mengubah segala langkah panjangku.
#
Lebaran di penghujung usia dua puluh satu tahunku menjadi batu terjal yang sakit untuk dilewati. Tidak seperti biasa, sore itu acara halal bi halal dihadiri oleh dua keluarga besar. Hampir semua keluarga besar aku kenal. Mulai dari paman, bibi, dan sepupu semuanya aku kenal. Aku bahkan akrab dengan mereka. Tetapi aku tidak kenal dengan keluarga yang berpakaian serba putih bercampur orange itu. Mulai dari bapak berkumis tebal dengan postur tubuh gempal, seorang ibu berpakaian sosialita bak artis di iklan marketplace. Sampai dengan anak-anak kecil yang mereka bawa untuk bersilaturahmi ke rumah papa, semuanya tidak pernah ku lihat sebelumnya. Tetapi aku berusaha tetap ramah.
Pantas saja sejak tadi malam mama memasak beraneka ragam hidangan. Sebegitu banyak masakan yang dia buat, aku sampai terheran apa bisa kami langsung habiskan hari itu juga. Mbak Yun sampai ikut membantu. Tetapi aku benar-benar tidak tahu akan ada tamu besar lainnya yang akan datang. Tamu dari keluarga mama kah ? Sepertinya tidak. Keluarga besar mama juga hampir semuanya ku kenal. Meski masih banyak yang tidak ku ketahui. Tapi aku yakin mereka bukan dari keluarga besar mama atau pun mama.
Ah, entahlah. Pertanyaan demi pertanyaan itu tak sempat ku telisik lebih mendalam. Aku, Mbak Yun, dan para perempuan lainnya sibuk menyiapkan hidangan. Hanya papa, mama, dan beberapa pamanku yang menyambut ramah tamah mereka di ruang tamu. Sesekali aku mendengar papa tertawa terbahak. Diikuti suara tertawa tamu lainnya. Duh, jokes garingnya papa keluar. Para tamu itu pasti terpaksa ikut tertawa karena tidak enak dengan tuan rumah.
Setelah hidangannya siap para tamu dipersilakan masuk. Ruang makan yang ala kadarnya. Tidak ada meja makan. Hanya lesehan di ruangan yang cukup luas menurutku. Mama bergegas memanggilku memintaku ikut dengannya masuk ke dalam kamar.