Taksi telah hampir lewat di depan Melodi menunggu, dan segera menghentikan taksi karena hari semakin sore. Di dalam taksi Melodi memasukkan poselnya, dia lupa bahwa chatnya masih dalam kondisi log in. Sementara cowok di seberang sana sedang menunggu balasan chat dari Melodi. Â Satu menit, dua menit, tiga menit, hingga 10 menit berlalu chatnya tidak dibalas oleh Melodi. Cowok itu memutuskan untuk me-log out SNSnya dan kembali meneruskan membuat aransemen musik untuk acara musik di kota itu.
Pukul 16.28 di Rumah Keluarga Handoko
Melodi baru sampai di rumahnya. Hari itu rumah sepi. Hanya ada pembantu dan tukang kebun yang berjaga di sana. Melodi tampak lelah. 2 jam lebih dia menunggu taksi belum lagi ditambah macet di sore hari yang bersamaan dengan jam pulang kantor dan berakhirnya aktivitas orang-orang menambah jalan menjadi tambah ruwet.Â
Hari ini dia memiliki jadwal menyanyi di salah satu Cafe milik sahabat Mamanya. Setelah masuk kamar, Melodi segera mandi dan makan. Sekitar pukul !8.50 Melodi segera mengantre bus di Halte. Dia tau bahwa ada supir yang siap mengantarnya, tapi Melodi sepertinya sama sekali taak tertarik menjadi seperti juragan. Dia memutuskan naik angkot karena Bus tak kunjung datang.
Pukul 19.35 Cafe Bugenvil
"Tante, maaf Melodi sedikit terlambat, tadi pulang telat Tan." Sapa Melodi saat dia berpapasan langsung dengan Tante Dira, sahabat Mama. "Udah dimulai ya, Tan?" tanya Melodi lagi.
"Aduhh, kok tumben jadi khawatir gitu? Sini minum dulu. Lihat tu, cantiknya berkurang gara-gara keringat." Ajak Tante Dira sambil tersenyum dan mempersilahkan Melodi duduk dan mengambilkan minuman pelepas dahaga di Cafe itu.
"Ya takut aja Tan kalo pengunjung Cafe kecewa, apalagi Mas Damar tuh udah lima senti mulutnya!" jawab Melodi sambil menoleh ke arah Mas Damar pemain bass. Mas Damar saat itu juga tengah melihat Melodi dengan ekor matanya. Dia kelihatan marah.
"Emang pernah tiap kamu ke sini Damar gak kayak gitu? Kok gak hafal-hafal. Tiap malem pekerjaanya kalo gak Barista ya manyunin mulut." Sahut Tante Dira sambil tertawa. Aku tak berani terlalu lebar tertawa, aku hanya tersenyum dan segera menghampiri Mas Damar.
"Maaf ya Mas agak telat. Tadi aku pulang hampir magrib. Macet di jalan." Kataku meminta maaf sambil membuka sarung gitarku. Sebelum aku membenarkan letak dudukku dan memangku gitar, Mas Damar mulai berbicara.
"Kalo ada masalah sama lima sentimeternya mulut gue, gak usah dipikirin! Jangan telat lagi, mereka suka sama suara kamu." Aku tersenyum dan sangat lega dengan perkataan Mas Damar. Ah, dia selalu tau tentang pemikiranku.