Ketika Pilar Keempat Retak
Media massa sejak lama dipandang sebagai salah satu fondasi demokrasi modern. Ia dijuluki pilar keempat karena perannya mengawasi kekuasaan, menyuarakan kepentingan publik, dan menjadi arena deliberasi bersama. Namun, gambaran normatif ini semakin jauh dari kenyataan.Â
Dalam dunia kapitalisme lanjut, media beroperasi dalam tekanan ganda: di satu sisi dituntut menjaga independensi, di sisi lain harus memastikan kelangsungan bisnis.Â
Ketika kondisi ekonomi, politik, atau teknologi membuat media memasuki apa yang bisa disebut sebagai survival mode, dilema ini semakin kentara.
Survival mode bukan sekadar istilah psikologi atau manajemen untuk bertahan dalam situasi sulit. Ia adalah kondisi eksistensial di mana media lebih mengutamakan keberlangsungan finansial daripada integritas jurnalistik.Â
Pilihan liputan ditentukan oleh potensi klik, rating, iklan, dan keamanan bisnis berhadapan dengan kekuasaan ekonomi dan politik, bukan oleh nilai kritis atau kepentingan publik. Independensi yang dulu diagungkan kini dikompromikan demi sekadar bertahan.
Fenomena ini hanya bisa dipahami jika kita menengok teori-teori ekonomi politik media. Vincent Mosco menyoroti komodifikasi informasi, Robert McChesney membahas konglomerasi kepemilikan, sementara Herman dan Chomsky menyingkap mekanisme propaganda yang bekerja halus melalui filter struktural.Â
Dengan kerangka tersebut, kita bisa membaca bagaimana survival mode bukanlah kondisi kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari struktur kapitalisme global yang membentuk ekosistem media.
Tulisan ini hendak menelusuri logika tersebut secara sistematis. Mulai dari proses komodifikasi, struktur konglomerasi, filter propaganda, hingga metafora perahu bocor yang menggambarkan krisis arah.Â
Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana normalisasi logika pasar membentuk jurnalis dan publik, lalu konsekuensinya bagi demokrasi, sebelum akhirnya membuka horizon alternatif berupa gagasan beyond business.