Budaya redaksi juga berubah. Target klik, rating, dan kepuasan pengiklan menjadi tolok ukur utama. Seorang jurnalis yang mencoba menulis berita kritis dianggap membuang waktu karena tidak mendatangkan keuntungan. Resistensi internal menjadi langka.
Publik turut terbentuk oleh kondisi ini. Terus-menerus dijejali konten dangkal, mereka terbiasa menganggap kritik sebagai sesuatu yang membosankan. Hiburan dan sensasi dianggap wajar, sementara informasi substantif semakin ditinggalkan.
Normalisasi ini memperlemah perlawanan. Jurnalis muda jarang melihat teladan independensi, sehingga menganggap kompromi sebagai norma. Survival mode melahirkan generasi pekerja media yang realistis secara bisnis, tetapi tumpul secara moral.
Dalam jangka panjang, ideologi pasar menguasai total. Apa yang dulu dianggap penyimpangan, seperti menjual berita demi iklan, kini dianggap praktik biasa. Survival mode tidak lagi hanya strategi bertahan, tetapi berubah menjadi cara hidup.
Jika pasar dijadikan kompas, arah perjalanan media tidak lagi menuju demokrasi. Demokrasi justru ditinggalkan, dan inilah konsekuensi paling serius yang harus dibayar publik.
Konsekuensi bagi Demokrasi
Demokrasi tidak mungkin berfungsi tanpa media independen. Ketika media berubah menjadi corong pasar, fungsi pengawasan terhadap kekuasaan runtuh. Alih-alih menjadi anjing penjaga, media berperan sebagai anjing peliharaan yang jinak.
Publik kehilangan akses pada informasi kritis. Kasus korupsi, pelanggaran HAM, atau krisis sosial jarang diliput mendalam. Informasi yang beredar adalah narasi aman yang menguntungkan elite. Publik kehilangan basis pengetahuan untuk membuat keputusan politik rasional.
Ruang publik pun terdegradasi. Media tidak lagi menyediakan arena diskusi sehat, melainkan sekadar saluran promosi kepentingan. Publik diposisikan sebagai objek pasif, bukan subjek aktif. Demokrasi kehilangan substansi deliberatifnya.
Akibatnya, kepercayaan publik terhadap media menurun. Banyak orang beralih ke media sosial atau kanal alternatif. Namun, ruang ini sering rapuh dan dipenuhi disinformasi. Publik terjebak antara media arus utama yang jinak dan media alternatif yang rawan hoaks.
Lingkaran setan pun terbentuk. Hilangnya kepercayaan publik membuat media makin sulit bertahan. Mereka semakin bergantung pada pengiklan atau elite politik. Survival mode pun makin menguat, dan independensi makin jauh.