Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Media Menjual Jiwanya: Bagaimana Survival Mode Membunuh Independensi

21 September 2025   14:12 Diperbarui: 21 September 2025   14:12 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: idn.freepik.com/foto-gratis/)

Budaya redaksi juga berubah. Target klik, rating, dan kepuasan pengiklan menjadi tolok ukur utama. Seorang jurnalis yang mencoba menulis berita kritis dianggap membuang waktu karena tidak mendatangkan keuntungan. Resistensi internal menjadi langka.

Publik turut terbentuk oleh kondisi ini. Terus-menerus dijejali konten dangkal, mereka terbiasa menganggap kritik sebagai sesuatu yang membosankan. Hiburan dan sensasi dianggap wajar, sementara informasi substantif semakin ditinggalkan.

Normalisasi ini memperlemah perlawanan. Jurnalis muda jarang melihat teladan independensi, sehingga menganggap kompromi sebagai norma. Survival mode melahirkan generasi pekerja media yang realistis secara bisnis, tetapi tumpul secara moral.

Dalam jangka panjang, ideologi pasar menguasai total. Apa yang dulu dianggap penyimpangan, seperti menjual berita demi iklan, kini dianggap praktik biasa. Survival mode tidak lagi hanya strategi bertahan, tetapi berubah menjadi cara hidup.

Jika pasar dijadikan kompas, arah perjalanan media tidak lagi menuju demokrasi. Demokrasi justru ditinggalkan, dan inilah konsekuensi paling serius yang harus dibayar publik.

Konsekuensi bagi Demokrasi

Demokrasi tidak mungkin berfungsi tanpa media independen. Ketika media berubah menjadi corong pasar, fungsi pengawasan terhadap kekuasaan runtuh. Alih-alih menjadi anjing penjaga, media berperan sebagai anjing peliharaan yang jinak.

Publik kehilangan akses pada informasi kritis. Kasus korupsi, pelanggaran HAM, atau krisis sosial jarang diliput mendalam. Informasi yang beredar adalah narasi aman yang menguntungkan elite. Publik kehilangan basis pengetahuan untuk membuat keputusan politik rasional.

Ruang publik pun terdegradasi. Media tidak lagi menyediakan arena diskusi sehat, melainkan sekadar saluran promosi kepentingan. Publik diposisikan sebagai objek pasif, bukan subjek aktif. Demokrasi kehilangan substansi deliberatifnya.

Akibatnya, kepercayaan publik terhadap media menurun. Banyak orang beralih ke media sosial atau kanal alternatif. Namun, ruang ini sering rapuh dan dipenuhi disinformasi. Publik terjebak antara media arus utama yang jinak dan media alternatif yang rawan hoaks.

Lingkaran setan pun terbentuk. Hilangnya kepercayaan publik membuat media makin sulit bertahan. Mereka semakin bergantung pada pengiklan atau elite politik. Survival mode pun makin menguat, dan independensi makin jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun