Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Media Menjual Jiwanya: Bagaimana Survival Mode Membunuh Independensi

21 September 2025   14:12 Diperbarui: 21 September 2025   14:12 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: idn.freepik.com/foto-gratis/)

Dalam jangka panjang, konglomerasi memperkuat logika survival mode itu sendiri. Media tidak dilihat sebagai lembaga publik, melainkan aset yang harus memberi keuntungan. Jika tidak, ia akan dijual atau ditutup. Independensi pun dianggap beban yang tak produktif.

Kondisi ini memperlihatkan bagaimana kepemilikan bukan hanya memengaruhi isi berita, tetapi juga menjadi filter awal yang menentukan apa yang boleh atau tidak boleh disiarkan. Filter inilah yang akan tampak lebih jelas ketika kita melihat bagaimana mekanisme propaganda bekerja dalam situasi krisis.

Filter Propaganda dalam Kondisi Krisis

Herman dan Chomsky menyebutkan lima filter yang membuat media cenderung memproduksi narasi yang menguntungkan elite: kepemilikan, iklan, sumber berita, flak, dan ideologi dominan. 

Filter tersebut bekerja bahkan tanpa instruksi langsung, karena telah terinternalisasi dalam praktik jurnalisme sehari-hari. Survival mode menjadikan filter ini lebih ketat dari biasanya.

Filter kepemilikan tampak jelas: media tidak bisa lepas dari kepentingan pemilik modal. Ketika bisnis induk terancam, liputan kritis pun dihapus. Survival mode memperkuat ketergantungan ini karena tanpa modal pemilik, media bisa ambruk.

Filter iklan lebih menentukan lagi. Dalam situasi rapuh, kehilangan pengiklan berarti kematian. Maka, media menyelaraskan liputan dengan kepentingan korporasi yang membayar iklan. Keberpihakan kepada publik terkalahkan oleh keberpihakan kepada sponsor.

Sumber berita resmi juga semakin dominan. Liputan investigatif membutuhkan biaya besar, sedangkan survival mode menuntut efisiensi. Akibatnya, media hanya mengutip rilis pemerintah atau perusahaan. Narasi yang muncul lebih menyerupai propaganda ketimbang laporan kritis.

Flak, berupa ancaman gugatan atau tekanan politik, menjadi momok. Dalam kondisi rapuh, media enggan melawan karena takut hancur. Maka mereka memilih menghindari liputan kontroversial. Efeknya adalah pengendalian isi secara tidak langsung melalui ketakutan.

Ideologi dominan, seperti wacana stabilitas dan pembangunan, juga dijadikan pegangan. Media dalam survival mode enggan keluar dari kerangka ini, karena dianggap berisiko. Dengan demikian, kritik terhadap status quo semakin sulit terdengar.

Ketika semua filter bekerja sekaligus, media bukan hanya kehilangan independensi, tetapi juga kehilangan arah. Mereka seperti kapal yang bocor, sibuk menimba air agar tidak tenggelam, tanpa pernah lagi memikirkan tujuan perjalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun