Mohon tunggu...
Ferra Shirly A.
Ferra Shirly A. Mohon Tunggu... istri yang suka menulis dan minum kopi

senang bekerja dan belajar dari rumah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Refleksi Film "Hichki", Ketika Ijazah Bukan Sekedar Formalitas

15 Agustus 2025   16:40 Diperbarui: 18 Agustus 2025   14:27 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Pexels/Ekrulila

Hari ini saya merasa sangat bersyukur karena bisa menonton film "Hichki (2018)". Film yang diadaptasi dari kisah nyata dan sudah rilis sejak 7 tahun lalu. Film yang menurut saya bukan sekadar hiburan tapi juga sarat dengan pelajaran. 

Film ini sangat cocok ditonton oleh pendidik, orang tua, bahkan calon orang tua. Disini, kita diajak melihat bagaimana seorang guru mampu mendidik dengan hatinya, sabar, kreatif, namun juga mampu tegas dalam mengajarkan tanggung jawab sehingga murid-muridnya bisa tetap menghormati dan menaruh rasa segan.

Dan baru beberapa menit saja menontonnya, dada sudah terasa sangat sesak. Film yang sekilas nampak sederhana, namun diam-diam mampu mengguncang hati dan menampar nurani.

Tokohnya bernama Naina, seorang wanita dengan sindrom Tourette. Gangguan saraf ini membuat tubuhnya sering tersentak, disertai suara cegukan yang tak terkendali. Bagi sebagian orang, itu mungkin dianggap kelemahan bahkan aib. Namun tidak bagi Naina. Hichki bukan penghalang baginya untuk menjadi guru sejati. 

Naina lulusan S2, ilmunya tinggi, semangat mengajarnya luar biasa. Tapi berkali-kali ia ditolak. Alasannya sederhana sekaligus menyakitkan: kekurangannya dianggap tidak pantas untuk menjadi seorang guru. 

Hingga suatu hari, takdir membawanya mengajar di sekolah bergengsi, namun di kelas yang paling tidak disukai oleh para guru bahkan sangat dihindari. Dan guru yang pernah mengampu kelas "9F" itu, belum pernah ada yang bertahan lama.

Kelas itu adalah tempat murid-murid "buangan" berkumpul. Mereka anak-anak miskin, dianggap pembuat onar, dan dicap tak punya masa depan. Guru-guru lain sudah menyerah pada mereka, melihatnya bukan lagi sebagai anak didik, tapi sebagai "masalah" yang harus disimpan sampai mereka lulus.

Melihat kondisi kelas itu yang seolah mustahil diubah, inilah saat perjuangan Naina benar-benar diuji. Perjuangannya bukan hanya melawan ejekan murid dan tatapan remeh rekan kerja, tapi juga sistem pendidikan yang kadang terjebak pada angka dan nilai rapor. Sistem yang fokus mencetak siswa pintar, tapi lupa mengajarkan bagaimana "hati mereka bisa hidup."

Naina sempat hampir menyerah. Namun, Ia tetap mencoba dan menatap lebih jauh. Ia pun melihat jika ternyata hati mereka rapuh, jiwa mereka bimbang bahkan beberapa mulai tersesat, namun sebenarnya mereka semua punya potensi, dan baiknya mereka masih mau dibimbing.

Lambat laun, Naina mampu menyentuh hati mereka. Ia mengajarkan keberanian untuk mencoba, keteguhan menghadapi kegagalan, dan mampu menanamkan integritas: agar tetap melakukan hal yang benar, menjaga prinsip, dan bersikap jujur meski tak ada yang mengawasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun