Proses ini berlangsung melalui komodifikasi, konglomerasi, filter propaganda, hingga normalisasi logika pasar yang merasuki redaksi. Akibatnya, publik kehilangan informasi kritis, dan demokrasi kehilangan penopang vitalnya.
Namun, determinisme bukan satu-satunya kemungkinan. Jalan keluar terbuka sejauh ada keberanian membayangkan media yang beyond business. Dengan pendanaan alternatif, pendidikan kritis, solidaritas profesi, dan partisipasi publik, media bisa merebut kembali fungsinya.
Pertanyaannya kini bukan sekadar apakah media bisa bertahan hidup, melainkan apakah ia bisa hidup dengan martabat. Sebab, media yang hanya cari selamat tetapi kehilangan jiwa, pada akhirnya sama saja dengan media yang mati bagi demokrasi.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI