Jika tren ini berlanjut, demokrasi menghadapi defisit informasi serius. Penguasa bebas bergerak tanpa pengawasan, sementara publik terpecah dalam ruang informasi yang tidak kredibel. Demokrasi menjadi prosedural belaka tanpa substansi pengawasan.
Maka, untuk keluar dari jebakan ini, perlu dicari horizon baru yang tidak sekadar tunduk pada logika bisnis: sebuah paradigma yang bisa disebut sebagai beyond business.
Jalan Keluar: Beyond Business
Meski gelap, pintu keluar tetap ada. Survival mode adalah produk struktur, dan struktur bisa diubah. Kuncinya adalah membayangkan media bukan hanya sebagai entitas bisnis, tetapi sebagai lembaga publik yang menanggung tanggung jawab sosial.
Pertama, model pendanaan alternatif menjadi penting. Skema langganan berbasis komunitas, hibah independen, atau crowdfunding bisa mengurangi ketergantungan pada iklan. Media yang dibiayai publik punya peluang lebih besar untuk tetap kritis.
Kedua, pendidikan jurnalisme pun perlu diperbarui. Alih-alih hanya mengajarkan strategi pasar, mahasiswa harus diajarkan etika kritis dan keberanian melawan arus. Generasi baru jurnalis hanya bisa lahir jika mereka melihat independensi sebagai nilai utama.
Ketiga, solidaritas profesi menjadi benteng lain. Serikat jurnalis dan jaringan media independen bisa melawan tekanan pasar dengan memperkuat dukungan kolektif. Resistensi tidak bisa lahir dari individu, tetapi dari kekuatan bersama.
Keempat, publik sendiri tidak boleh pasif. Tanpa dukungan pembaca, media independen sulit bertahan. Kesadaran bahwa kualitas demokrasi bergantung pada media kritis harus menjadi bagian dari budaya politik masyarakat.
Jika langkah-langkah tersebut diambil, maka horizon beyond business bisa terbuka: media yang tidak lagi sekadar bertahan, tetapi mampu hidup dengan integritas, memberi arah, dan kembali menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi.
Kompas Demokrasi Selalu Butuh Keberanian
Survival mode membuat media menjual jiwanya: mengorbankan independensi demi keuntungan jangka pendek.Â