Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Manusia Muka Rata

27 Maret 2025   21:05 Diperbarui: 27 Maret 2025   21:05 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Jangan pernah coba-coba memainkan permainan ini. Aku memberi tahumu sebagai peringatan, tetapi bukan berarti kamu tidak boleh memainkannya. 

Tolong. Sama sekali tidak sepadan dengan risikonya.

***

Tidak ada yang tahu Legenda Manusia Muka Rata dimulai dari mana. Ada yang bilang bermula dari Jepang. Tapi ada juga yang bilang berasal dari suku Indian di Amerika. Menurut Mahiwal Linukh, penulis fiksi horor yang tidak begitu terkenal, Legenda Muka Rata terdapat di seluruh dunia, bermuara di daerah pedalaman. 

Variasi permainan ada bermacam-macam. Ada yang melalui cermin, air dalam baskom, atau bayangan di dinding. Sumber cahaya dari api unggun, cahaya lilin, lampu senter, bahkan termutakhir sinar layar ponsel.

Permainannya yang aku tahu seperti ini: 

Kamu berbaring telentang di tempat tidur, wajahmu menghadap ke dinding terdekat, lalu menutup mata dan berbisik, "Manusia Muka Rata, Manusia Muka Rata, datang dengan bunyi klik, lihatlah aku kalau kau bisa."

Ulangi tiga kali.

Kemudian kamu tertidur. 

Bagian yang sulit dalam memastikan siapa yang bertemu dengan Manusia Muka Rata adalah bahwa hal itu terjadi selama siklus mimpi, jadi kamu harus melaporkan secara akurat berapa lama kamu bertahan.

Kalau kamu mengikuti langkah-langkahnya dengan benar, teruslah menghadap dinding. Ucapkan kata-kata itu dengan keras, jangan buka matamu sampai kamu tertidur---pada suatu ketika, Manusia Muka Rata akan muncul.

Kamu jelas tertidur pada saat ini. Kamu akan mendengar bunyi klik, dan kamu akan memiliki kesan yang jelas tentang seorang pria jangkung dalam bayangan yang memegang senter perak berat di tangan kirinya. Dia berdiri di dekat dinding. Rasa takutmu dimulai. 

Dari sudut penglihatanmu, kamu akan melihat cahaya melingkar terang dari sinar senter memantul dari dinding di dekat kakimu. 

Tutup matamu.

Hitung detiknya. Gunakan metode "satu domba, dua domba," dan seterusnya.

Dia akan semakin dekat, menggerakkan cahaya perlahan ke atas tubuhmu menuju kepalamu. Tujuannya adalah untuk membangunkanmu ketika kamu tidak dapat menahannya lagi, tetapi sebelum cahaya mencapaimu.

Rekornya adalah delapan detik, oleh Vindy Natasya, yang meninggal dalam kecelakaan lalulintas dua bulan kemudian.

Ketika kamu bangun, kamu akan membelakangi dinding. Kalau kamu bertahan lebih dari tiga detik, kamu akan punya bayangan cahaya di matamu, seperti kalau kamu menatap langsung ke bola lampu yang terang.

Detak jantungmu harus memburu. Kamu harus benar-benar terjaga dan penuh adrenalin, dan kamu harus mengingat berapa detik kamu bertahan.

Kembali tidur merupakan tantangan, tetapi bisa dilakukan. Pastikan kamu tidak mengulang permainan pada malam yang sama, karena kalau kamu mengulanginya, kamu tidak bisa memulainya pada detik pertama. Hitungan terakhir itu terus berlanjut dengan kecepatan dua kali lipat. Atau begitulah kata orang.

Ada cerita tentang seorang anak yang mencobanya dua kali. Berhasil mencapai empat pada kali pertama, dan pada kali kedua dia nyaris tidak sempat bangun ketika hitungan ke tujuh. Rambutnya mulai rontok setelahnya dan tidak pernah tumbuh lagi.

***

Menurut legenda, kalau sinar Senter Manusia Muka Rata mengenai wajahmu, kamu akan melihat seperti apa rupanya.

Dan kemudian kamu akan mati selagi tidur.

***

Sekali lagi, aku menceritakan ini sebagai peringatan.

Kami masih anak-anak waktu itu. Deden, Syauki, Agus, dan aku. Umur kami sepuluh tahun. 

Kami enginap di rumah Syauki selama liburan semester. Bermain permainan Manusia Muka rata adalah idenya.

"Ini konyol," kataku, karena aku anak baru di kelompok itu, dan baru saja pindah tahun lalu dari Kota Bekasi ke Rajagaluh, Majalengka.

Aku tidak percaya pada legenda bodoh. Tapi aku benar-benar ingin tetap berteman karena Syauki dan Agus adalah orang pertama yang mengizinkanku bergaul dengan mereka dan aku tidak ingin menyendiri lagi. Sekolah baru dimulai bulan depan dan semua orang saling kenal. Jadi aku agak terasing dan itu menyebalkan.

"Dasar penakut," kata Agus.

"Tidak," bentakku, "tapi apa gunanya permainan ini? Apa yang kamu dapat?"

Deden memutar matanya. "Ketenaran, dasar bodoh. Semua orang menghormatimu kalau kamu berhasil bertahan sampai tujuh detik. Anak-anak cewek akan menganggapmu hebat."

"Hah," kata Agus, dan Syauki mengeluarkan suara tersedak yang dibuat-buat.

"Bagaimana kamu bisa membuktikannya?" tanyaku.

Ketiganya menatapku seperti aku orang bodoh. 

"Tidak ada yang bisa berbohong tentang Manusia Muka Rata, kawan," kata Deden. 

Agus dan Syauki mengangguk.

"Kalau kamu berbohong, permainan ini tidak akan berguna untukmu lagi," tambah Agus.

"Memangnya kenapa?" Aku tidak mau mengakui bahwa aku ketakutan.

"Itu seperti bunuh diri sosial total," kata Syauki sambil menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang menghormati orang yang kalah dalam permainan Manusia Muka Rata."

"Serius?"

Mereka semua menatapku seolah aku baru saja berubah menjadi mutan berkepala tikus. Atau kutu, karena entah mengapa, kota ini terobsesi dengan hama kutu. 

Itu sangat menjijikkan.

"Bro," kata Deden, "kamu tidak akan berbohong tentang Manusia Muka Rata." 

Dia benar-benar serius sekarang, dan Deden adalah orang paling konyol di kelompok kami.

"Baiklah, terserah," gerutuku. 

Aku tidak benar-benar mengerti, tetapi aku juga tidak ingin mereka meninggalkanku. Dengan siapa lagi aku bisa bicara? 

Jaringan internet di sini payah, dan ibu tidak mengizinkanku memiliki ponsel sendiri. 

"Baiklah, kalian siap?" tanya Syauki.

Kami semua mengangguk.

Kami berada di dalam gudang setengah jadi. Pintu tampak seperti lubang hitam yang mengarah ke halaman belakang. Kami memilih salah satu dinding gipsum yang tidak dicat sebagai tempat berkemah. Kami masing-masing memiliki kantong tidur dan bantal, dan kantong camilan ringan serta botol plastik soda kosong berserakan di lantai.

Syauki bangkit dan mematikan lampu langit-langit, membiarkan kipas angin tetap menyala. 

"Di sini kita mulai."

Kami semua berbaring, Syauki paling dekat dengan tangga ke lantai dua dan aku di ujung, dekat pintu. 

Deden dan Agus terkekeh, kepala mereka paling dekat dan kantong tidur mereka di tengah dinding. Kaki Deden sejajar dengan kakiku dan kaki Agus dengan Syauki sehingga tidak ada di antara kami yang mencium bau kaki orang lain

Yang lain memejamkan mata dan mulai membisikkan, "Manusia Muka Rata, Manusia Muka Rata. Datang dengan bunyi klik, lihat aku kalau kau bisa."

Aku juga menggumamkan kata-kata itu, tetapi aku tetap membuka mata.

Satu-satunya suara selain dengungan bilah kipas adalah napas kami bersama-sama. 

Aku tidak mengantuk karena campuran kafein, gula, dan rasa gugup. Aku menolak memberi tahu teman-temanku bahwa aku belum pernah menginap di rumah teman sebelumnya. 

Aku kangen tempat tidurku.

Tak lama kemudian aku mendengar dengkuran pelan dari Deden, dan napas sengau Agus, dan tidak ada suara dari Syauki.

Dan di sinilah semuanya kacau.

Ketika aku yakin mereka semua sudah tidur, aku bangun, menarik kantong tidurku menjauh dari dinding ke tengah ruang bawah tanah, dan menonton. Aku tidak bisa menahannya. Aku tidak ingin tidur, dan aku selalu bisa mengatakan bahwa aku baru saja sampai hitungan kedua, dan akan berpura-pura tidur. Siapa yang peduli dengan status sosial di kota terpencil ini?

Deden terbangun lebih dulu, tersentak tegak sambil terkesiap. Dia mencakar rambutnya dengan kedua tangan seolah-olah dia takut rambutnya akan rontok. Dia menyipitkan mata. 

Bulan telah muncul saat itu, dan menerangi gudang cukup terang. 

"Bro, sialan," bisiknya, matanya terbelalak. 

Dia menatapku dan aku mengangkat bahu. 

"Dua," kataku, dan mencoba untuk terlihat malu. Deden mengangguk. 

"Empat," katanya, lalu menyeringai. "Yang terbaik menurutku. Yes." 

Dia menggeser kantong tidurnya ke kantong tidurku dan kami duduk di sana sambil memperhatikan Agus dan Syauki. Agus terbangun berikutnya, berkeringat seperti orang gila, matanya merah. 

"Persetan dengan---" 

Agus menatap kami cukup lama. "Lima," katanya. Dia tampak terguncang, pucat, dan tampaknya tidak suka mengakuinya. 

"Bro, hebat!" bisik Deden. 

Dia mengulurkan tangan dan memberi tos pada Agus, yang dengan lemah menepuk tangannya. 

Kami semua menatap Syauki. 

"Dia pasti enam," kata Deden. 

"Bagaimana kamu tahu?" tanyaku. 

Waktu berbeda dalam mimpi. Aku tahu itu, karena aku sudah cukup banyak mengalami mimpi buruk yang menyebalkan untuk berharap sebaliknya. 

Agus menggigil. "Aku tidak akan memainkan ini lagi."

"Kenapa tidak?" tanyaku.

Agus menatapku dengan tajam sehingga aku bersandar, takut dia akan kehilangan akal sehatnya dan meninjuku. 

"Lima. Detik. Paling. Lama. Dalam. Hidupku. Sialan."

Aku mengangkat tanganku untuk membela diri. "Oke, Bro. Sorry."

Deden menepuk bahuku. "Jangan ganggu dia, Gus. Dia masih baru."

Aku menepis tangan Deden. Kami semua terdiam lagi.

Dada Syauki bergerak naik turun dengan irama yang stabil, dan rambutnya tidak rontok atau hal-hal aneh semacam itu.

Agus masih berkeringat, bergoyang maju mundur. Aku menatap Deden. 

Ada yang salah. Syauki masih tertidur.

"Apakah kita membangunkannya?" tanyaku pada Deden.

Dia menggelengkan kepalanya. 

"Itu melanggar aturan."

Kami terus menunggu.

Aku tidak tahu jam berapa saat itu, karena aku tidak punya jam tangan dan tidak ada jam dinding. Selain itu, aku juga tidak memperhatikan.

Namun, kami semua mendengar bunyi "klik" yang keras dan jelas. Hanya bunyi klik sederhana, seperti yang dihasilkan senter aluminium kuno dengan tombol on/off yang berat. 

Ayahku biasa menimbun benda-benda itu untuk perjalanan berkemah kami yang tak pernah terlaksana. Dia punya satu tas plastik penuh benda-benda itu.

Kami semua menahan napas. Mata Deden membelalak. Agus menutup mulutnya dengan tangan.

Demi nyawaku, tak seorang pun dari kami membawa lampu atau ponsel atau apa pun seperti itu. Namun, kami melihatnya: seberkas cahaya bundar bergerak ke atas tubuh Syauki, dari kakinya ke kepalanya, dan hinggap di wajahnya.

Dan kemudian wajahnya tiba-tiba menghilang. Di mana seharusnya wajahnya berada, hanya ada hamparan kulit mulus , pipih seperti jeruk bali yang dibelah dua. Tidak ada hidung, tidak ada mulut, tidak ada mata.

Sinar senter padam.

***

Aku dan ibuku pindah kembali ke Bekasi sebulan kemudian. Aku tidak pernah memainkan permainan itu dan aku peringatkan kamu: Jangan.

Aku tahu akan ada yang membuatnya viral. Aku melihat posting sesekali tentangnya di forum atau media sosial. Seperti legenda urban lainnya, ada pencela dan penggemar beratnya, tetapi aku peringatkan kamu, ini berbahaya. Jangan mainkan permainan Manusia Muka Rata.

Aku tidak pernah tidur menghadap tembok lagi. Aku takut mungkin secara tidak sadar mengucapkan kata-kata itu yang terukir di otakku. Tidak bisa tidak aku memikirkannya setiap malam, bahkan meskipun tidak mengucapkannya dengan keras. 

Tentu saja polisi tidak percaya pada kami, tetapi mereka tidak dapat menuduh kami melakukan pembunuhan karena mereka tidak memiliki cara untuk membuktikan bagaimana kami melakukannya. 

Aku tidak pernah berbicara dengan Deden atau Agus lagi. Aku cukup yakin polisi berusaha keras untuk memastikan kematian Syauki Mason yang berusia sepuluh tahun yang tidak dapat dijelaskan tidak pernah diketahui publik. Kalau kamu mencarinya di Google, kamu akan menemukan bahwa penyebab resmi kematiannya adalah kegagalan kardiorespirasi. 

Pemakaman dengan peti mati tertutup.

Tidak ada lagi foto Syauki yang memperlihatkan wajahnya.

Jawa Barat, 27 Maret 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun