Agus masih berkeringat, bergoyang maju mundur. Aku menatap Deden.Â
Ada yang salah. Syauki masih tertidur.
"Apakah kita membangunkannya?" tanyaku pada Deden.
Dia menggelengkan kepalanya.Â
"Itu melanggar aturan."
Kami terus menunggu.
Aku tidak tahu jam berapa saat itu, karena aku tidak punya jam tangan dan tidak ada jam dinding. Selain itu, aku juga tidak memperhatikan.
Namun, kami semua mendengar bunyi "klik" yang keras dan jelas. Hanya bunyi klik sederhana, seperti yang dihasilkan senter aluminium kuno dengan tombol on/off yang berat.Â
Ayahku biasa menimbun benda-benda itu untuk perjalanan berkemah kami yang tak pernah terlaksana. Dia punya satu tas plastik penuh benda-benda itu.
Kami semua menahan napas. Mata Deden membelalak. Agus menutup mulutnya dengan tangan.
Demi nyawaku, tak seorang pun dari kami membawa lampu atau ponsel atau apa pun seperti itu. Namun, kami melihatnya: seberkas cahaya bundar bergerak ke atas tubuh Syauki, dari kakinya ke kepalanya, dan hinggap di wajahnya.