Bulan telah muncul saat itu, dan menerangi gudang cukup terang.Â
"Bro, sialan," bisiknya, matanya terbelalak.Â
Dia menatapku dan aku mengangkat bahu.Â
"Dua," kataku, dan mencoba untuk terlihat malu. Deden mengangguk.Â
"Empat," katanya, lalu menyeringai. "Yang terbaik menurutku. Yes."Â
Dia menggeser kantong tidurnya ke kantong tidurku dan kami duduk di sana sambil memperhatikan Agus dan Syauki. Agus terbangun berikutnya, berkeringat seperti orang gila, matanya merah.Â
"Persetan dengan---"Â
Agus menatap kami cukup lama. "Lima," katanya. Dia tampak terguncang, pucat, dan tampaknya tidak suka mengakuinya.Â
"Bro, hebat!" bisik Deden.Â
Dia mengulurkan tangan dan memberi tos pada Agus, yang dengan lemah menepuk tangannya.Â
Kami semua menatap Syauki.Â