Pendekatan ini memungkinkan munculnya pemahaman yang transparadigmatik---melampaui batas disiplin tunggal---untuk menangkap nuansa dan kontradiksi yang melekat pada fenomena perselingkuhan.
Menghindari bias patologis dan dikotomis, metode ini justru membuka ruang untuk interpretasi baru yang lebih inklusif terhadap pengalaman relasional manusia, baik dalam tataran sakit maupun pemulihan.
Dengan metode ini, penelitian bertujuan tidak hanya untuk mendeskripsikan perselingkuhan, tetapi juga membaca ulang maknanya dalam terang krisis eksistensial, disfungsi relasi, dan kebutuhan manusia akan koneksi, pengakuan, serta pembaruan diri.
D. Rumusan Masalah
Fenomena perselingkuhan telah lama menjadi topik yang sensitif, diselimuti oleh stigma, moralitas, dan reduksi yang menyederhanakan kompleksitasnya. Dalam banyak narasi populer dan bahkan dalam sebagian besar kajian ilmiah, perselingkuhan sering dikategorikan secara biner: setia atau tidak setia, benar atau salah, korban atau pelaku. Pendekatan ini menyisakan ruang yang sempit untuk memahami spektrum motivasi, konteks, dan pengalaman batin yang menyertai tindakan selingkuh.
Berdasarkan latar belakang tersebut dan berangkat dari kebutuhan akan pendekatan multidimensi dan transdisipliner, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana fenomena perselingkuhan dapat dipahami secara lebih utuh melalui pendekatan multidisipliner yang mencakup dimensi biologis, neurokimia, psikologis, emosional, relasional, sosial, budaya, etika, spiritual, intergenerasional, teknologi, hingga eksistensial?
Apa saja "lapisan-lapisan" yang membentuk struktur kompleks dari tindakan dan pengalaman perselingkuhan, dan bagaimana masing-masing lapisan berinteraksi satu sama lain dalam membentuk motif, dinamika, serta dampak dari perselingkuhan?
Bagaimana metafora "flu emosional" dapat digunakan sebagai kerangka konseptual untuk menjelaskan kerentanan manusia terhadap perselingkuhan, sekaligus membuka ruang pemahaman terhadap dimensi pemulihan dan kekambuhan?
Bagaimana model kontinum---alih-alih dikotomi hitam-putih---dapat menjelaskan pengalaman "abu-abu" dalam relasi yang melibatkan elemen perselingkuhan, baik secara fisik, emosional, maupun virtual?
Dalam konteks masyarakat yang semakin cair secara nilai, identitas, dan relasi, bagaimana redefinisi terhadap perselingkuhan dapat membantu mengembangkan etika relasi yang lebih kontekstual, sadar, dan reflektif?