Dengan rumusan masalah ini, penelitian bertujuan untuk tidak hanya menjawab pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana" orang berselingkuh, tetapi juga membuka wacana baru mengenai kerapuhan, pertumbuhan, dan ambivalensi manusia dalam relasi intim. Perspektif ini diharapkan dapat menjadi sumbangan terhadap diskursus relasi kontemporer yang lebih dewasa secara emosional dan kompleks secara epistemologis.
II. Landasan Teoritis
A. Tinjauan Pustaka: Perspektif Psikologi Hubungan, Antropologi Relasi, dan Etika Sosial
Fenomena perselingkuhan telah menjadi perhatian dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari psikologi klinis hingga studi kebudayaan. Namun, kecenderungan untuk mereduksi kompleksitas tindakan ini ke dalam satu domain tunggal sering kali menghasilkan analisis yang kurang menyeluruh. Oleh karena itu, tinjauan pustaka ini akan mengurai secara multidisipliner pendekatan-pendekatan teoretis yang relevan untuk membingkai fenomena perselingkuhan secara utuh.
1. Psikologi Hubungan dan Teori Keterikatan
Dalam psikologi, perselingkuhan sering dikaji dalam konteks teori keterikatan (attachment theory) sebagaimana dikembangkan oleh John Bowlby (1969) dan dikembangkan lebih lanjut oleh Mary Ainsworth dan Hazan & Shaver. Gaya keterikatan dewasa---secure, anxious, avoidant---berkorelasi kuat dengan pola hubungan yang cenderung stabil maupun disfungsional. Individu dengan gaya keterikatan anxious atau avoidant lebih rentan melakukan perselingkuhan sebagai mekanisme coping terhadap rasa takut akan penolakan, kehilangan, atau ketidakmampuan membentuk kedekatan emosional yang sehat.
Sejumlah penelitian (Glass & Wright, 1992; Allen et al., 2005) juga menunjukkan bahwa perselingkuhan tidak semata-mata dimotivasi oleh hasrat seksual, tetapi seringkali merupakan ekspresi dari kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi dalam relasi inti. Ketidakpuasan relasional, kebutuhan validasi, dan pengalaman keterasingan dalam relasi menjadi faktor kunci yang memperkuat dorongan untuk mencari koneksi alternatif.
2. Antropologi Relasi dan Relativisme Budaya
Perselingkuhan dalam perspektif antropologis dilihat sebagai produk dari struktur sosial, norma kolektif, serta konstruksi makna yang bervariasi antar budaya. Claude Lvi-Strauss dan Marcel Mauss, misalnya, menyoroti bagaimana relasi intim sering kali merupakan bagian dari sistem pertukaran simbolik, termasuk kekuasaan, status, dan kehormatan.
Di masyarakat yang lebih permisif seperti beberapa negara Barat, hubungan di luar pernikahan dapat dinegosiasikan secara terbuka dalam bentuk konsensual non-monogamy. Sementara dalam masyarakat yang lebih konservatif---termasuk banyak negara Asia dan Timur Tengah---perselingkuhan dianggap sebagai bentuk pengkhianatan moral dan sosial yang berat.
Relativisme budaya terhadap makna "kesetiaan" dan "pengkhianatan" menunjukkan bahwa apa yang dianggap selingkuh bukanlah entitas universal, melainkan konstruk sosial yang dipengaruhi oleh norma, nilai, dan struktur kekuasaan lokal.