Reformasi 1998 adalah salah satu tonggak sejarah paling monumental dalam perjalanan politik Indonesia modern. Diawali oleh krisis ekonomi yang menghantam Asia Tenggara, amarah publik terhadap rezim Orde Baru yang korup, otoriter, dan sentralistik memuncak. Gerakan mahasiswa menjadi garda terdepan, membawa tuntutan yang sangat jelas: turunkan Soeharto, tegakkan demokrasi, adili para koruptor, dan ciptakan keadilan sosial.
Reformasi menjanjikan kebebasan berpendapat, supremasi hukum, keterbukaan informasi, dan partisipasi rakyat dalam proses politik. Banyak yang berharap Indonesia akan bertransformasi menjadi negara demokrasi substantif yang menjunjung tinggi hak-hak warga negara serta memberantas praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Kebangkitan Oligarki dan Politik Transaksional
Namun, dua dekade lebih sejak Soeharto lengser, hasil reformasi menunjukkan ironi mendalam. Struktur kekuasaan yang semula dikritik karena terlalu terpusat kini terfragmentasi menjadi jaringan kekuasaan oligarkis yang menyebar luas, namun tetap eksklusif. Kekuasaan tidak benar-benar kembali ke tangan rakyat, melainkan berpindah ke tangan para elite politik dan pengusaha yang memanfaatkan demokrasi elektoral sebagai alat negosiasi kekuasaan berbasis kapital.
Politik transaksional menjelma menjadi norma dalam sistem multipartai. Pemilu tidak lagi menjadi arena gagasan, melainkan ajang jual beli suara, pencitraan, dan pembagian rente kekuasaan. Partai politik lebih mirip kendaraan pribadi untuk ambisi segelintir elite daripada wadah representasi aspirasi rakyat. Banyak reformis awal yang dulunya berada di barisan depan gerakan justru berubah menjadi bagian dari sistem yang dulu mereka lawan.
Hilangnya Ruh Idealisme Mahasiswa dan Rakyat
Gerakan mahasiswa yang dulu membawa semangat perubahan kini mengalami stagnasi, bahkan kooptasi. Universitas yang dulunya menjadi pusat perlawanan intelektual dan moral terhadap rezim otoriter berubah menjadi institusi yang cenderung pragmatis dan birokratis. Banyak mahasiswa hari ini terjebak dalam agenda jangka pendek, kehilangan narasi besar tentang arah bangsa.
Demikian pula dengan rakyat kebanyakan. Keterbukaan informasi tidak serta-merta meningkatkan kesadaran politik, melainkan sering kali dibajak oleh propaganda, hoaks, dan polarisasi. Kekecewaan terhadap elite baru menyebabkan apatisme politik di kalangan masyarakat. Demokrasi elektoral tanpa pendidikan politik yang memadai membuat rakyat mudah dimobilisasi, tapi sulit untuk benar-benar diberdayakan.
Dengan demikian, Reformasi Indonesia 1998 yang diharapkan menjadi titik awal demokratisasi dan keadilan, justru memperlihatkan ironi sejarah: idealisme dikompromikan oleh kepentingan, rakyat kembali dipinggirkan, dan sistem berubah hanya pada permukaan.
2. Studi Kasus: Revolusi Rusia 1917
Narasi Pembebasan Proletar dan Penghapusan Kelas