8. Kesimpulan dan Rekomendasi
Tidak Ada Revolusi Modern yang Lolos dari Ironi Pengkhianatan Cita-Cita
Dari kajian terhadap Reformasi Indonesia 1998, Revolusi Rusia 1917, Revolusi Cina 1949, Revolusi Prancis 1789, hingga Revolusi Iran 1979, tampak benang merah yang sama: semangat awal yang luhur dan emansipatoris pada akhirnya dikhianati oleh dinamika kekuasaan, nafsu elite, serta institusi-institusi yang menyimpang dari cita-cita awal.
Alih-alih menjadi jalan menuju keadilan, revolusi kerap berubah menjadi ladang subur bagi otoritarianisme baru, entah dalam bentuk oligarki demokratis, kediktatoran proletariat, teokrasi represif, maupun militerisme populis. Subjek utama revolusi---rakyat biasa, kaum miskin, tertindas, dan marginal---berulang kali dijadikan alat mobilisasi, tetapi dilupakan dalam proses institusionalisasi dan pasca-konsolidasi kekuasaan.
Ironi ini bukan semata-mata kegagalan teknis atau struktural, tetapi mencerminkan absennya orientasi spiritual, etik, dan integritas sebagai pondasi revolusi. Revolusi yang dibangun hanya dengan retorika ideologi tanpa pembentukan karakter moral dan batin pelakunya niscaya akan menciptakan paradoks dan regresi.
Kebutuhan Mendesak Akan Paradigma Revolusi Spiritual yang Jujur
Dalam konteks inilah, Revolusi Muhammad SAW menjadi anomali sekaligus teladan otentik. Ia berhasil menyatukan transformasi struktur sosial dengan pembebasan ruhani; membangun sistem nilai yang operasional sekaligus inklusif; serta menghindari jebakan kekuasaan yang sentralistik, eksploitatif, dan dogmatis.
Revolusi Muhammad bukanlah reaksi emosional terhadap kezaliman, melainkan gerakan kontemplatif-prophetik yang lahir dari kesadaran ilahiah dan tanggung jawab historis. Ia tidak berakhir dengan kekecewaan, pembunuhan massal, atau sistem diktator, melainkan dengan masyarakat madani yang berlandaskan keadilan, partisipasi, dan kasih sayang.
Dalam konteks modern, ini menunjukkan bahwa hanya revolusi yang bertumpu pada nilai profetik---yakni kejujuran, amanah, kesabaran, keadilan, dan kasih sayang---yang mampu bertahan dari erosi waktu dan godaan kekuasaan. Maka, sudah waktunya umat manusia melihat kembali model revolusi ini bukan sebagai utopia normatif, tetapi sebagai prototipe etis dan praktis perubahan sosial.
Usulan Arah Baru Revolusi Sosial: Menghidupkan Kembali Prinsip Profetik dalam Perubahan Sosial Kontemporer
Menghadapi krisis multidimensi abad ke-21---dari ketimpangan sosial, krisis ekologi, disorientasi spiritual, hingga korupsi demokrasi---dunia membutuhkan revolusi paradigma yang lebih dalam dari sekadar peralihan rezim atau model ekonomi. Dibutuhkan "Revolusi Kesadaran Profetik" yang mengintegrasikan: