Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ironi dalam 5 Revolusi Besar Dunia

15 April 2025   13:11 Diperbarui: 15 April 2025   13:11 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah kejatuhan Robespierre, Prancis memasuki masa kekacauan politik, hingga seorang jenderal muda bernama Napoleon Bonaparte naik ke tampuk kekuasaan. Awalnya dipandang sebagai penyelamat republik, Napoleon justru memusatkan kekuasaan dan mendeklarasikan dirinya sebagai Kaisar pada 1804, mengubur harapan akan republik egaliter dan demokratis.

Demokrasi yang Berubah Menjadi Militerisme

Alih-alih mewujudkan demokrasi stabil, Revolusi Prancis membuka jalan bagi militerisme otoriter dalam balutan simbolik revolusi. Napoleon mengeksploitasi semangat nasionalisme dan simbol revolusioner untuk membangun kekaisaran luas melalui peperangan di seluruh Eropa.

Prancis yang awalnya memperjuangkan kesetaraan dan persaudaraan antar bangsa, justru menjadi imperium penakluk. Institusi republik menjadi alat mobilisasi militer dan kontrol sosial, bukan tempat artikulasi suara rakyat.

Dalam konteks ini, Revolusi Prancis menunjukkan ironi mendalam: dari rakyat yang bangkit untuk menghancurkan kekuasaan absolut, muncul rezim yang lebih represif dan ekspansionis. Janji akan kebebasan dan persaudaraan menjadi pengantar bagi era penaklukan dan kekuasaan tunggal, membalik seluruh semangat awal revolusi.

5. Studi Kasus: Revolusi Iran 1979

Penggulingan Shah dan Janji Kebebasan Islam

Revolusi Iran 1979 bermula sebagai gerakan rakyat yang luas, melibatkan berbagai spektrum ideologis: dari kelompok Islamis, kaum Marxis, nasionalis sekuler, mahasiswa, intelektual kiri, hingga ulama tradisional. Titik temu mereka adalah keinginan menggulingkan Rezim Shah Mohammad Reza Pahlavi, yang dianggap sebagai boneka Barat, korup, otoriter, dan represif terhadap oposisi politik maupun budaya lokal Iran.

Ayatollah Ruhollah Khomeini, yang saat itu masih dalam pengasingan, menjadi simbol utama perlawanan karena mampu menyatukan semangat keislaman dengan kritik terhadap hegemoni asing dan ketimpangan sosial. Retorika "kebebasan Islam" (Azadi-ye Eslami) yang digaungkan Khomeini menjanjikan tatanan baru yang membebaskan rakyat dari penindasan, sekaligus memulihkan martabat spiritual Iran di tengah modernitas yang dianggap dekaden.

Rakyat turun ke jalan dalam gelombang demonstrasi damai yang besar, dan akhirnya pada Februari 1979, Shah melarikan diri dari Iran dan rezim monarki runtuh. Untuk sesaat, harapan akan lahirnya Iran baru yang demokratis, berdaulat, dan pluralis tampak mekar.

Konsolidasi Teokrasi Represif

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun