Setelah kejatuhan Robespierre, Prancis memasuki masa kekacauan politik, hingga seorang jenderal muda bernama Napoleon Bonaparte naik ke tampuk kekuasaan. Awalnya dipandang sebagai penyelamat republik, Napoleon justru memusatkan kekuasaan dan mendeklarasikan dirinya sebagai Kaisar pada 1804, mengubur harapan akan republik egaliter dan demokratis.
Demokrasi yang Berubah Menjadi Militerisme
Alih-alih mewujudkan demokrasi stabil, Revolusi Prancis membuka jalan bagi militerisme otoriter dalam balutan simbolik revolusi. Napoleon mengeksploitasi semangat nasionalisme dan simbol revolusioner untuk membangun kekaisaran luas melalui peperangan di seluruh Eropa.
Prancis yang awalnya memperjuangkan kesetaraan dan persaudaraan antar bangsa, justru menjadi imperium penakluk. Institusi republik menjadi alat mobilisasi militer dan kontrol sosial, bukan tempat artikulasi suara rakyat.
Dalam konteks ini, Revolusi Prancis menunjukkan ironi mendalam: dari rakyat yang bangkit untuk menghancurkan kekuasaan absolut, muncul rezim yang lebih represif dan ekspansionis. Janji akan kebebasan dan persaudaraan menjadi pengantar bagi era penaklukan dan kekuasaan tunggal, membalik seluruh semangat awal revolusi.
5. Studi Kasus: Revolusi Iran 1979
Penggulingan Shah dan Janji Kebebasan Islam
Revolusi Iran 1979 bermula sebagai gerakan rakyat yang luas, melibatkan berbagai spektrum ideologis: dari kelompok Islamis, kaum Marxis, nasionalis sekuler, mahasiswa, intelektual kiri, hingga ulama tradisional. Titik temu mereka adalah keinginan menggulingkan Rezim Shah Mohammad Reza Pahlavi, yang dianggap sebagai boneka Barat, korup, otoriter, dan represif terhadap oposisi politik maupun budaya lokal Iran.
Ayatollah Ruhollah Khomeini, yang saat itu masih dalam pengasingan, menjadi simbol utama perlawanan karena mampu menyatukan semangat keislaman dengan kritik terhadap hegemoni asing dan ketimpangan sosial. Retorika "kebebasan Islam" (Azadi-ye Eslami) yang digaungkan Khomeini menjanjikan tatanan baru yang membebaskan rakyat dari penindasan, sekaligus memulihkan martabat spiritual Iran di tengah modernitas yang dianggap dekaden.
Rakyat turun ke jalan dalam gelombang demonstrasi damai yang besar, dan akhirnya pada Februari 1979, Shah melarikan diri dari Iran dan rezim monarki runtuh. Untuk sesaat, harapan akan lahirnya Iran baru yang demokratis, berdaulat, dan pluralis tampak mekar.
Konsolidasi Teokrasi Represif