Namun dalam waktu yang relatif singkat, Khomeini dan faksi ulama garis keras mengonsolidasikan kekuasaan. Konsep "Wilayat al-Faqih" --- kepemimpinan oleh seorang ulama tertinggi --- dimasukkan ke dalam konstitusi Iran, menjadikan negara ini sebagai satu-satunya teokrasi modern yang sistematis, di mana hukum Islam versi Syiah menjadi hukum negara, dan kekuasaan tertinggi berada di tangan Rahbar (Pemimpin Tertinggi), yang tidak dipilih secara langsung oleh rakyat.
Kelompok-kelompok revolusioner lain yang awalnya bersama-sama menjatuhkan Shah mulai disingkirkan satu per satu. Marxis dieksekusi, nasionalis diasingkan, dan perempuan yang menuntut hak-hak setara dibungkam. Bahkan pemikir Islam yang moderat seperti Ali Shariati justru dilupakan, meski gagasannya menjadi bahan bakar awal revolusi.
Rakyat yang dulu dijanjikan pembebasan, justru kini hidup di bawah sistem kontrol moral, sensor media, milisi Basij, dan aparat Velayat-e Faqih yang mengawasi kehidupan sehari-hari. Kebebasan berekspresi dan beragama ditekan, dengan minoritas Bah, Sunni, dan bahkan sebagian Syiah progresif mengalami diskriminasi sistematis.
Pengkhianatan terhadap Pluralisme Revolusi
Revolusi Iran adalah contoh klasik bagaimana revolusi multikoalisi berubah menjadi monopoli kekuasaan satu faksi. Apa yang awalnya tampak sebagai kebangkitan spiritual dan perlawanan terhadap tirani menjadi bentuk baru tirani atas nama Tuhan. Janji pluralisme dan keadilan sosial yang pernah diusung bersama---oleh para mahasiswa, buruh, ulama, hingga aktivis perempuan---terkikis oleh teokrasi eksklusif dan ideologi politik yang tidak membuka ruang perbedaan.
Ironinya adalah bahwa sistem yang lahir dari perjuangan rakyat justru mengasingkan rakyat dari proses pengambilan keputusan. Revolusi Iran menunjukkan bagaimana semangat kebebasan bisa direduksi menjadi slogan kosong, dan bagaimana simbol agama bisa dimanipulasi menjadi alat legitimasi kekuasaan represif.
6. Perbandingan: Revolusi Spiritual Nabi Muhammad SAW
Tujuan: Transformasi Akhlak dan Struktur Sosial
Revolusi yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW bukanlah gerakan politik konvensional yang bertujuan menggulingkan rezim atau merebut kekuasaan. Sebaliknya, revolusi ini merupakan transformasi holistik yang bertumpu pada pembersihan akhlak, rekonstruksi struktur sosial, dan penanaman nilai spiritual transenden. Fokus utama perjuangan Rasulullah SAW adalah pembebasan manusia dari perbudakan---baik secara fisik, ideologis, maupun spiritual.
Masyarakat Makkah sebelum Islam, yang dikenal sebagai jahiliyah, memiliki struktur sosial hirarkis: kaum elit Quraisy menindas budak, perempuan, anak yatim, dan kelompok miskin. Nabi Muhammad SAW datang membawa konsep radikal kesetaraan dan keadilan, bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Allah, tidak ada keutamaan kecuali dalam takwa.
Revolusi ini tidak dimulai dengan senjata, tetapi dengan kata-kata dan keteladanan, dan ditujukan untuk mengganti sistem nilai yang bobrok dengan nilai tauhid, amanah, keadilan, kasih sayang, dan kebebasan nurani.