Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ironi dalam 5 Revolusi Besar Dunia

15 April 2025   13:11 Diperbarui: 15 April 2025   13:11 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sepanjang sejarah, revolusi kerap dipahami sebagai momen kritis ketika rakyat bangkit untuk membebaskan diri dari belenggu tirani, ketidakadilan struktural, dan kesenjangan sosial. Dari revolusi politik, sosial, hingga ekonomi, cita-cita awal revolusi hampir selalu membawa janji akan dunia yang lebih adil, merata, dan manusiawi. Revolusi dianggap sebagai alat untuk membongkar tatanan lama yang menindas dan menggantinya dengan sistem baru yang lebih inklusif dan egaliter.

Namun, sejarah juga mencatat bahwa sebagian besar revolusi berakhir dalam ironi: kekuasaan yang sebelumnya dikritik karena represif, setelah direbut, sering kali direkonstruksi dalam bentuk baru yang tak kalah menindas. Rakyat yang semula menjadi aktor utama dalam proses perubahan, perlahan terpinggirkan setelah kekuasaan berpindah tangan. Semangat idealisme revolusi berubah menjadi alat legitimasi politik baru, dan elite revolusioner menggantikan elite lama dalam piramida kekuasaan yang tidak berubah secara substansial. Fenomena ini terjadi berulang kali dari Revolusi Prancis hingga Revolusi Iran, dan lebih dekat lagi, dalam Reformasi Indonesia 1998.

Tujuan dan Signifikansi Kajian

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji ironi sejarah dari lima revolusi besar yang secara eksplisit membawa narasi pembebasan rakyat: Reformasi Indonesia 1998, Revolusi Rusia 1917, Revolusi Cina 1949, Revolusi Prancis 1789, dan Revolusi Iran 1979. Kajian ini juga bermaksud menyoroti satu anomali dalam sejarah revolusi manusia, yaitu revolusi spiritual yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, yang secara substansial menghindari jebakan ironi dan pengkhianatan terhadap cita-cita awal.

Signifikansi kajian ini terletak pada usaha untuk mengidentifikasi akar dari kegagalan revolusi modern, serta membuka ruang refleksi terhadap perlunya paradigma revolusi yang lebih jujur, etis, dan spiritual. Dengan mengontraskan revolusi profetik Muhammad dengan revolusi-revolusi modern, tulisan ini ingin menawarkan pemahaman baru mengenai syarat-syarat transformasi sosial yang autentik dan tahan terhadap korupsi kekuasaan.

Pertanyaan Utama

Kajian ini dirancang untuk menjawab dua pertanyaan utama:

  1. Mengapa revolusi-revolusi besar dalam sejarah gagal mewujudkan janji keadilan dan emansipasi rakyat?
     Apakah kegagalan ini disebabkan oleh cacat pada aspek ideologis, institusional, atau operasional? Apakah ini gejala sistemik dari revolusi politik modern?

  2. Adakah revolusi yang sungguh-sungguh jujur terhadap cita-cita awalnya?
     Dan jika ada, apa karakteristik revolusi tersebut? Apakah mungkin di era kontemporer mereplikasi jenis revolusi yang tidak terjebak dalam pengulangan tragedi sejarah?

1. Studi Kasus: Ironi Reformasi Indonesia 1998

Harapan akan Demokratisasi dan Keadilan

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun