Bab 25: Ziarah Batin
Sebelum lanjut, baca Prolog Bagian 1, Bab 1, Bab 2, Bab 3 , Bab 4, Bab 5, Bab 6, Bab 7, Bab 8, Bab 9, Bab 10, Bab 11, Bab 12, Bab 13, Bab 14, Bab 15, Bab 16, Bab 17, Bab 18, Bab 19, Epilog Bagian 1, Prolog Bagian 2, Bab 20, Bab 21, Bab 22, Bab 23, dan Bab 24.
Meninggalkan Cirebon ibarat melangkah keluar dari sebuah ruangan yang penuh asap dan kebisingan ke padang terbuka yang sunyi. Hiruk pikuk pelabuhan, dengan segala intrik dan bahayanya, kini tertinggal di belakang, digantikan oleh jalanan berdebu yang membentang di bawah langit yang pucat karena terik. Mereka tidak lagi menyamar sebagai bangsawan; jubah sutra dan tatapan angkuh telah ditanggalkan, diganti dengan pakaian pengelana yang sederhana dan wajah yang waspada. Di dermaga, sebelum mereka pergi, Daeng Rahmat menatap mereka berempat dengan sorot mata yang tak lagi bisa ia sembunyikan. "Semoga para dewa di darat dan di laut meridhoi jalan kalian, orang-orang sakti," bisiknya, sebuah ucapan selamat jalan yang terdengar lebih seperti doa yang penuh ketakutan.
Perjalanan mereka ke selatan adalah sebuah ziarah yang membelah jantung Pulau Jawa. Beberapa hari pertama, mereka menyusuri jalur-jalur utara yang panas, melewati desa-desa nelayan yang lebih kecil, hamparan tambak garam yang berkilauan seperti cermin pecah, dan ladang-ladang tebu yang meranggas. Kemudian, perlahan, lanskap mulai berubah. Daratan menjadi lebih subur, jalanan mulai menanjak, dan di kejauhan, siluet-siluet raksasa mulai tampak, membiru dan agung di cakrawala. Gunung Ciremai, lalu Slamet, dan kemudian, sepasang gunung kembar yang legendaris, Merapi dan Merbabu, berdiri seolah menjadi gerbang menuju jantung pulau.
Setiap malam, mereka berkemah di tempat-tempat tersembunyi, di bawah naungan rumpun bambu atau di dalam hutan jati yang sunyi, di mana suara jangkrik dan desau angin menjadi satu-satunya kawan. Di sinilah, jauh dari ancaman langsung, perjalanan batin mereka yang sesungguhnya terjadi.
Suatu sore, mereka berhenti di tepi Bengawan Solo. Sungai itu mengalir malas, airnya berwarna cokelat pekat membawa lumpur dari hulu. Sementara yang lain menyiapkan perapian untuk malam itu, Tirta berjalan ke tepi air. Tanpa ragu, ia melangkah masuk hingga air mencapai pinggangnya. Ia memejamkan mata. Bagi yang lain, sungai itu hanyalah aliran air. Bagi Tirta, itu adalah pembuluh darah bumi. Ia merasakan denyutnya, sejarahnya yang panjang; ia merasakan sisa-sisa air hujan yang jatuh di puncak Gunung Lawu, energi para petani yang mencuci kaki mereka di tepiannya, dan duka dari mereka yang pernah hanyut dalam arusnya. Namun di bawah semua itu, ia merasakan hal yang sama: sebuah tarikan magnetis yang konstan dari arah selatan. Tarikan itu semakin kuat setiap hari, sebuah bisikan tanpa suara yang memanggilnya pulang ke lautan yang tak pernah ia kenal, namun terasa lebih akrab daripada apa pun.
Malam yang lain, di bawah tatapan Gunung Merapi yang puncaknya sesekali mengepulkan asap tipis, Angin (Gayatri) tidak bisa tidur. Ia duduk di luar tenda darurat mereka, memandang raksasa yang tertidur itu. Di tangannya, selembar kulit kering terbentang, berisi salinan simbol-simbol yang ia ingat dari Indeks Hilang dan liontin koral itu. Simbol spiral, simbol gerbang, simbol pasang surut. Kata-kata ibunya, Ratu Sekar, terngiang samar, bukan tentang perang atau takhta, melainkan tentang cerita-cerita pengantar tidur mengenai Ratu Laut Selatan, yang kekuatannya harus dihormati, bukan ditantang. Dulu itu hanya dongeng. Sekarang, dongeng itu telah mencuri kitab warisan leluhurnya dan menggunakannya untuk menenggelamkan manusia. Beban itu terasa lebih berat dari gunung di hadapannya. Ia adalah seorang Ratu yang kerajaannya tinggal cerita, memimpin tiga kekuatan alam yang luar biasa, untuk melawan kekuatan alam itu sendiri. Ironi itu terasa pahit.
Pada malam ketujuh perjalanan mereka, saat mereka berkemah di dalam sebuah hutan jati yang lebat, giliran Api dan Tanah yang berjaga. Api unggun kecil berderak pelan, apinya menari-nari menerangi wajah mereka. Api menatap kobaran api itu, bukan dengan kekaguman, tapi dengan keresahan.
"Aku benci laut," katanya tiba-tiba, memecah keheningan.
Tanah, yang sedang mengasah belatinya dengan batu, berhenti dan menatapnya. "Kenapa?"
"Karena aku tidak berguna di sana," jawab Api ketus, menusuk-nusuk tanah dengan sebatang ranting. "Di darat, aku adalah api. Di laut, aku hanya asap yang mudah padam. Aku melihatmu mencoba mengangkat karang, melihat Gayatri memanggil badai. Mereka gagal. Lalu Tirta... dia hanya mengangkat tangan dan lautan mematuhinya. Kita hanya jadi penonton."