Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hati Perempuan (Bagian 7: Pengorbanan Cinta)

1 Maret 2020   12:44 Diperbarui: 1 Maret 2020   12:45 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pintu kamar itu sudah lama terkunci. Tidak ada kehidupan di dalamnya. Menurut Ibu kos, Bu Via pulang ke Kendari  beberapa lama untuk menyiapkan penelitiannya. Dia pulang ketika yang lain masih menikmati liburan semester. Dia tak juga kembali meski kuliah sudah mulai. Kelihatannya sudah habis teori sehingga tidak ada kuliah lagi. Tak ada yang tahu pasti. Perempuan itu seperti membentengi dirinya agar tak tertembus oleh siapapun. Nyaman dengan dunia pilihannya sendiri yang terasing dari pergaulan sekitarnya.

Khalisa masih mengira kamar itu tak berpenghuni sehingga menyandarkan tubuhnya ke pintunya. Mendadak dirasakan ada yang menarik pintu dari dalam  hingga membuatnya hampir terpelanting jatuh.

            "Maaf.. Maaf.. nggak tahu ada orang," sebuah suara terdengar dari dalam. Suara Bu Via yang merasa bersalah.

            "Saya kira nggak ada orangnya," kata Khalisa setelah bisa menguasai diri. "Kapan pulang Bu?"

            "Minggu lalu saya sudah sampai Jakarta. Ke sini baru tadi pagi."

            "Tadi ke kampus?"

            "Iya, seharian di kampus. Ketemu dosen pembimbing," jelasnya."Bu Lisa gimana tesisnya?"

Keduanya kini menuju sisi samping rumah lalu duduk di sana. Ada dua kursi yang secara tetap diletakkan di sana. Khalisa memandang ke hamparan sawah kemudian bersuara.  "Baru mulai bimbingan. Banyak coretan."

Bu Via tertawa kecil. "Dulu waktu S2 saya ada teman yang S1-nya nggak dari sini. Setiap habis bimbingan laporannya berubah menjadi kipas. Penuh lipatan halaman-halaman yang harus direvisi. Kalau saya karena S1, dan S2 di sini jadi waktu S3 ini sudah tahu apa maunya dosen. Sudah paham gaya bahasa dan teknik penulisan yang diinginkan dosen."

            "Iya, di sini nggak boleh nulis panjang lebar. Saya dikatain mau nulis novel apa tesis," tutur Khalisa.

            "Memang kita selalu ingin menunjukkan kalau pengetahuan kita banyak. Ingin semuanya ditulis . Padahal sebagai ilmuwan kita nggak boleh egois seperti itu. Harus benar-benar dipilih mana yang relevan  untuk tulisan kita ," paparnya menjawab kebingungan Khalisa.

Pembicaraan mereka beralih ke hal lain sampai akhirnya menembus hal-hal pribadi. Sepertinya Bu Via ingin mengungkapkan kenapa masih melajang sampai  usia menjelang empat lima. Khalisa mulai paham penyebab semuanya. Tidak seharusnya menghakimi seseorang dengan prasangka. Ada sejumlah alasan  kenapa Bu Via terkesan sangat terutup dan menjaga jarak dengan lelaki..

Via tidak bisa mengekspresikan perasaannya sejak masih kecil.  Roman mukanya datar walaupun  perasaannya bisa saja  senang, sedih, marah atau kecewa . Dia sendiri tak tahu kenapa bisa seperti itu. Dia jarang menangis atau tertawa semasa anak-anak. Ketika lulus SMA dan diterima masuk pergutuan tinggi tanpa tes reaksinya biasa saja. Padahal teman-temannya baru mendapat kabar lulus ujian saja sudah meloncat-loncat kegirangan dengan wajah yang tak henti melebarkan senyuman.

Kalau mau dirunut ke masa kecilnya barangkali bisa menemukan jawabannya. Via dan adik-adiknya terpaksa tinggal terpisah dari orang                  tuanya sejak usia yang masih sangat belia. Via baru baru kelas tiga SD sedangkan dua adiknya perempuan dan laki-laki masih kelas satu SD dan TK. Karena Bapaknya bekerja di pertambangan maka sering berpindah-pindah tempat tugas. Agar tidak menyulitkan maka diputuskan  anak-anak ditemani pembantu menetap di Kendari.  

Ibu akan menemani mereka pada saat ulangan umum dan ujian saja. Mereka bisa bersama Ibu paling lama hanya dua minggu. Di luar waktu itu, anak-anak harus puas hanya ditemani dan dilayani pembantu. Mereka harus bisa mengatasi masalah-masalahnya sendiri sejak usia anak.  Tanpa disadari  keadaan itu membuat mereka menjadi berbeda dibanding teman-temannya. Via kesulitan mengekspresikan perasaannya karena sekian lama harus menanggung semuanya sendiri. 

Susah senang, takut ataupun jengkel  memang harus dipendam sendiri sejak kecil. Sementara adik perempuannya yang menyimpan kemarahan kepada orangtua sepanjang hidupnya menjadi begitu tak peduli pada lingkungan sekitar. Adik bungsunya yang laki-laki hampir mirip dengan Via. Pendiam, tertutup dan tanpa ekspresi.

Di usia remaja Via masih tetap berwajah beku. Menyimpan semua rasa sendiri. Merasa sanggup menjalani hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Pembantunya hanya membersihkan rumah, mencuci dan menyiapkan makan. Urusan lain menjadi tanggung jawab masing-masing. Via tak punya banyak teman. Jarang bisa dekat dengan seseorang. Apalagi dengan lawan jenisnya. Pernah dia mencoba bersikap ramah kepada laki-laki ketika sudah mulai kuliah. Sayangnya keramahannya diartikan lain sehingga dia ketakutan ketika lelaki itu mencoba mendekatinya. Sejak saat itu Via tak mau lagi bersikap ramah atau berwajah manis di depan laki-laki. Seluruh hidupnya kemudian hanya difokuskan untuk belajar dan bekerja.

            "Setiap manusia punya peran yang berbeda-beda selama hidupnya di dunia ini . Begitu pula dengan perempuan. Ada yang diberi tugas untuk berproduksi saja seperti saya. Ada juga yang hanya melakukan tugas reproduksi seperti Ibu kos kita. Di samping itu ada yang menyandang dua peran sekaligus seperti Bu Lisa. Produksi dan reproduksi ," urainya mencoba memaknai tugas hidupnya.

            "Iya, betul juga. Allah sudah begitu adil mengatur semuanya yang terbaik untuk kita," pupus Khalisa menyadari perannya.

            "Saya paling tidak suka kalau di kantor ada Ibu-ibu yang tidak bisa memilah-milah antara pekerjaannya di sektor publik dan domestik. Ada tugas ke luar kota dari kantor dia masih saja ingat anak dan suaminya. Mestinya kalau bekerja harus fokus. Tapi saya pikir-pikir semuanya sudah diatur sedemikian rupa supaya terjadi keselarasan. Selain ada perempuan seperti itu, ada perempuan seperti saya yang bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaan tanpa diganggu urusan domestik."

Khalisa mengangguk-angguk membenarkan jalan pikiran Bu Via meskipun dia tak sepenuhnya bisa melepaskan diri dari urusan domestik. Malahan pernah terbersit keinginannya untuk berhenti bekerja di sektor publik agar bisa sepenuhnya menjadi Ibu bagi Gea. Pernah ingin  secara total menjadi penulis profesional yang melakukan pekerjaannya di rumah. Namun karena ternyata sulit untuk bisa mengandalkan hidup sebagai penulis,  Khalisa tetap harus bekerja. Mereka membutuhkan uang secara rutin untuk  bertahan hidup . Menulis mungkin benar  bisa menghasilkan uang tapi tidak bisa diharapkan seperti gaji bulanan yang diterima secara rutin dalam jumlah yang sama. Dengan jumlah gaji itulah dibuat pengelolaan keuangan setiap bulan.

Suara HP Khalisa dari kamar memanggil-manggil sehingga dia berlari meninggalkan Bu Via yang masih duduk menatap hamparan sawah di sisi samping rumah. Hanya tertera nomor HP yang tak dikenal tapi dijawab juga. Siapa tahu ada kabar penting yang disampaikan untuknya. Mungkin juga teman lama yang sudah berganti nomor.

Terkejut dia mendengar suara yang belum pernah dikenalnya. Suara Husein atau Ichan sudah dikenalnya dengan baik walaupun kadang keduanya berusaha mengubah suara dengan berbagai cara. Tapi siapa lelaki yang menelponnya ini?

            "Aku Romy , Mbak.  Ingat kan?" begitu suara di seberang sana mencoba menggali memorinya karena Khalisa masih belum mengenalnya. Dicoba mengingatnya beberapa lama tapi  tak berhasil juga menemukan nama Romy. "Teman di FB Mbak.  Kita satu SMA,"  Romy mencoba menjelaskan         

            Pantas saja dia tak mengenal suaranya. Ini pertama kalinya Romy menelpon. Seingatnya setelah berkenalan di Facebook, mereka sempat melakukan obrolan lalu bertukar nomor HP tapi Khalisa lupa menyimpan nomor Romy sehingga tidak tertera di HP-nya ketika Romy menelpon.

            "O, iya ingat Romy. Bagaimana kabarmu?"

            "Aku di Bogor lho Mbak, sekarang.  Main  sama teman-teman. Mungkin tiga hari di sini. Bisa ketemu nggak Mbak?"

            Aduh, Khalisa  tak berminat bertemu brondong. Benar mereka alumni dari SMA yang sama di Yogya tapi usia Romy lima belas tahun di bawahnya. Mereka berteman di FB karena berada dalam  grup alumni SMA. Untuk apa Romy ingin bertemu dengannya? Apa untungnya bertemu perempuan seusianya? Bukankah banyak mojang geulis di daerah Pasundan ini?

            "Aku tinggalnya di desa lho, jauh dari kota Bogor," dalihnya.

            "Aku aja yang ke sana Mbak. Ini temanku bawa mobil kok. "

            "Aku cuma tahu rute angkotnya. Kalau naik mobil nggak tahu lewat mana," balasnya.

            "Kalau gitu kasih alamatnya nanti aku cari. Alamatnya  di-SMS ya Mbak!"

            Khalisa tersenyum sendiri. Mestinya Dini dan Rinta yang harus menanggapi Romy. Keduanya terbiasa menjalani blind date. Tapi apa bedanya Khalisa dengan mereka?  Hampir semua laki-laki yang kemudian dekat dengannya dikenal lewat internet juga.  Saat ini cara itu menjadi cara paling mudah untuk mendapatkan teman dan juga pasangan. Sudah banyak yang mendapat pacar lalu menikah  diawali dengan pertemanan di  jejaring sosial.

            Satu SMS masuk. Revi yang menyapanya setelah bangun tidur.  Sekarang jam dua belas berarti di Jerman baru jam enam pagi. Baru akan dibalasnya, satu SMS masuk lagi. Romy yang memintanya segera memberikan alamat lengkap.

            "Bu Via tahu alamat lengkap kos kita ini?"

            "Saya nggak tahu. Nggak pernah ada yang kirim surat. Tanya Ibu saja !"

            Terpaksa Khalisa turun untuk bertanya kepada Ibu kos. Dipastikan benar dan lengkap sebelum di-SMS ke  Romy. Ketika SMS terkirim, ganti dia membalas SMS Revi. Dua  brondong itu  yang akan mewarnai hari-harinya. Khalisa tersenyum kecut mendapati kenyataan bahwa dirinya disukai para brondong. Mungkin karena dia pun tak nyaman bersama lelaki matang yang seringkali diyakini sebagai lelaki egois yang sok tahu dan suka mengatur. Sementara lelaki muda selalu membawanya kembali ke masa muda dan menempatkan dirinya sebagai yang utama dan dipuja.

            "Gimana kabar Bapak, Bu?" Khalisa berbasa-basi setelah bertanya alamat . "Baik  Neng," jawabnya tanpa tekanan, "Ayo duduk dulu Neng, ini Ibu baru rebus kacang. Ayo dimakan !"

            "Bapak jadi nikah lagi ?" tanyanya hati-hati.

            "Nggak Neng."

            "Syukurlah kalau begitu, Bu. Nggak jadi poligami. Aman terkendali," sambutnya senang.

            "Tidak juga Neng," rendah suara Ibu menahan sesuatu yang tak terlihat mata.

            "Lho, kenapa  begitu? Ada apa Bu?" desaknya.

            "Inilah hidup berumahtangga Neng. Ibu bertahan dan berkorban demi anak-anak. Cinta tidak pernah ada," suaranya lirih tertahan. " Apalagi setelah ada perempuan lain. Kita sudah tidak tidur satu ranjang lagi. Tidak ada lagi malam Jumat yang dinanti. Ganti sprei bersih dan pakai wewangian.  Sudah berakhir."

            "Kok bisa begitu, Bu?"

            "Sudah mati rasa. Kita hanya seperti  Kakak  Adik sekarang. Menerima amanah untuk mengasuh dan mendidik anak-anak sampai dewasa dan bisa mandiri."

            "Seharusnya tidak boleh begitu, Bu," sanggahnya tak berguna.

            "Ibu jalani saja Neng. Mungkin ini yang terbaik. Tidak ada pilihan lain," keluhnya sendu.

            Beginilah kalau perempuan hanya dilekati peran reproduksi. Melahirkan anak saja. Tak bisa menghasilkan uang sendiri. Bergantung kepada suami saja. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan kaum lelaki tumbuh subur karena terlalu banyak perempuan yang hanya berperan sebagai Ibu dan Istri. Maka tunduklah engkau kepada suamimu karena di sanalah surgamu. Itulah yang selalu diyakini Ibu.  Khalisa tak bisa mengubah nilai-nilai yang telah melekat sepanjang usianya. Ibu akan selalu berbakti dan patuh kepada suami. Melayani tanpa mengeluh, mendampingi tanpa mengembangkan isi pikirannya sendiri dan menerima dengan ikhlas apa saja perlakuan suami. Kalau suami marah dan meninggalkannya, seorang istri  akan merasa sangat berdosa. Maka yakinlah jika rumahmu akan menjadi surga yang dibangun dengan rahmat Illahi. Penuh kasih sayang karena  pengabdian  istri mendapat balasan sepadan dari suami.

            "O, ya Neng tadi yang nanya alamat siapa? Ada teman yang mau datang?" Ibu mengalihkan pembicaraan.

            "Iya, Bu, teman dari Yogya."

            "Laki apa perempuan?" selidiknya.

            "Ah, Ibu mau tahu aja."

            "Jangan-jangan berondong lagi ini?"

            Khalisa tertawa saja mendengarnya. Tangannya mulai asyik mengambili kacang rebus dan makan pelan-pelan. Ibu pun mengikutinya. Berdua duduk di ruang tamu menghadapi meja dengan sepiring kacang rebus yang masih hangat.

            "Gimana Pak Akbar? Katanya naksir  juga. Diterima nggak?"

            "Ah, itu gossip Bu. Nggak ada apa-apa kok. Dia boleh suka tapi saya nggak harus mau kan?"

            "Kenapa Neng ? Kurang tajir?"

            "Iya, Bu. Buat apa menyusahkan diri sendiri. Kalau nikah lagi sama yang nggak berpotensi seperti itu buat apa? Dia belum jelas kerjanya apa. Apalagi orang Sulawesi."

            "O, begitu ya Neng. Sudah antipati sama orang Sulawesi."

            "Laki-laki Sulawesi itu besar omongan saja, Bu. Buktinya nggak ada," ujarnya.

            "Kalau begitu masih memilih Pak Anwar dong?" tiba-tiba jalan pikiran Ibu bertaut ke sana. "Nggak apa-apa Neng sama Pak Anwar. Nikah siri saja biar nggak dosa !"

            "Ah, Ibu.  Nggak lah Bu. Saya nggak mau begitu."

            "Jadi pilih siapa ini? Yang nanti mau datang ini? Cakep ya Neng?"

            "Pilih Revi saja Bu," candanya.

            "Boleh juga itu. Yang di Jerman

            Mendadak Khalisa  gelisah. Senja sudah sempurna mengguratkan rona jingga di angkasa. Batang-batang padi yang masih  hijau pupus  bergoyang-goyang tertiup angin . Di sisi samping rumah itu kembali dia duduk memandang ke kejauhan. Sendiri tanpa suara. Sementara teman-temannya telah mengurung diri di kamar.

            Para lelaki itu ternyata hanya singgah sesaat di dalam hidupnya. Datang dan pergi sesuka hati sesuai keperluan.  Menganggap Khalisa adalah tempat berteduh sesaat kala mendung menghalangi perjalanan atau penat menghambat langkah. Bahkan kala kesendirian menyergap dalam perjalanan panjang yang menjemukan, Khalisa adalah beranda yang terbuka bagi mereka. Tempat berteduh dan beranda yang akan ditinggalkan ketika mereka telah sampai tujuan. Artinya Khalisa siap untuk dilupakan ketika ditinggalkan. Inikah peran yang disandangnya kini? Menggembirakan hati para lelaki yang sedang sendiri dan kelelahan.

            Trinita yang tiba-tiba telah berdiri di sampingnya tanpa diketahui kedatangannya membuatnya terkejut. "Ayo jalan-jalan  ke  BTM Mbak !" 

            "Nggak ah, nggak ada duit," tolaknya.

            "Aduh Umi, jalan-jalan mah kagak perlu duit. Cukup ongkos angkot doang ," Dini menimpali dari belakang. Sudah cantik dengan riasan lengkap. Sangat riskan kalau sampai jadi incaran oom-oom di  sana nanti.

            "Iya, kita harus ajak Bu Lisa. Kalau dibiarkan sendiri mojok pegang HP seperti ini bisa merusak sistem," celetuk Rinta berlagak seperti ilmuwan sosial.

            "Sistem apa yang rusak?" balas Khalisa.

            "Sistem keluarga," sahut Rinta cepat. "Dengan Ibu kirim SMS ke suaminya orang akan merusak sistem. Tadinya Ibu di luar sistem kemudian memasuki sistem yang sudah kokoh. Pelan-pelan sistem itu rusak  atau bahkan bisa hancur karena Ibu memaksa masuk ke dalam sistem."

            "Ah, teorimu ngacau," sergah Khalisa.

            "Umi, kemarin aku ketemu Pak Akbar. Dia titip salam buat Umi,"  kata Ica  dengan sumringah, " Katanya besok Minggu mau diajak badminton. Setelah itu diajak jalan-jalan di pasar pagi kampus kita."

            "Aku juga kemarin siang ketemu Pak Anwar di Fapet. Dia sudah mulai bimbingan. Katanya dia mau main ke sini tapi nggak tahu kenapa nggak jadi," sambung Trinita.

            "Masih cemburu sama lawyer  itu," tebak Dini.

            "Gimana jadi ikut kita jalan-jalan nggak ini Bu?" desak Rinta.

            Belum lagi menjawab , HP Khalisa menandakan ada telpon yang masuk. Romy menelponnya. Khalisa menolak diajak teman-temannya. Romy sudah hampir sampai dan perlu diberi  arahan agar tidak tersesat di jalan.

            "O,  lagi dating.  Okelah kalau begitu kita tinggalkan saja," celetuk Rinta .

            Mereka memang pergi bersama-sama untuk refreshing sejenak dari kejenuhan menghadapi proposal penelitian yang bolak-balik direvisi dosen pembimbing. Khalisa tidak ikut karena Romy sudah hampir sampai. Bu Via juga ada di kamarnya. Barangkali sedang mengetik usulan disertasinya. Khalisa tak pernah masuk kamarnya. Pintunya selalu tertutup pertanda tak ingin diganggu. Hanya sepi yang kemudiam terasa menikam di dekat hamparan sawah itu.

            HP berbunyi lagi, Romy  sudah parkir di pinggir jalan. Dia kebingungan memilih gang yang mana untuk sampai di tempat kos Khalisa. Dengan sedikit petunjuk, dia akan segera menemukan rumah tempat Khalisa berada. Sebaiknya ditunggu di halaman depan rumah supaya dia tidak harus bertemu Ibu kos, Khalisa malu kalau Ibu melihatnya. Apa nanti komentarnya.

            Baru saja Khalisa turun, sosok lelaki setinggi seratus delapan puluh dua senti telah berdiri di depan pagar. Rambutnya agak gondrong. Bagian belakangnya melampaui bahu. Keduanya bertatapan sejenak lalu sama-sama melempar senyum. Pada saat itulah Khalisa menyadari adanya dua lesung pipit di sudut bibir anak muda itu. Manis sekali. Apalagi matanya yang bulat besar membuatnya terlihat cerdas ketika bola  matanya  berputar-putar.

            "Kamu sendiri?" tegurnya.

            "Iya, Mbak. Teman-teman kecapean jadi nggak mau ikut."

            "Susah ya menemukan tempat ini?"

            "Nggak juga."

            "Kita naik saja yuk!"

            "Kamarnya di atas?"

            "Iya. Di bawah rumah ibu kos."

            "O, begitu. Oke, kita naik ."

            Keduanya menaiki tangga menuju lantai atas. Di ujung tangga itu langsung terhubung ke teras lantai atas. Hanya ada satu kursi di situ sehingga Khalisa harus mengangkat satu kursi dari kamarnya agar mereka bisa sama-sama duduk.

            "Kok sepi Mbak?"

            "lagi pada ke luar semua. Jalan-jalan ke Bogor."

            "Kok nggak ikut?"

            "Kalau  aku ikut kamu nggak bisa ketemu aku," balas Khalisa.

           "Jadi Mbak sendiri ? Nggak takut?"  

          "Takut sama siapa? Hantu ?"

          "Iya kok sepi begini Mbak? Kerasan di sini? Ternyata ini desa ya?"

          "Mau nggak mau. Biar dekat kampus. Memang ini desa."

          "Kapan pulang ke Yogya, Mbak?"

          "Masih lama. Aku baru dua minggu di sini."

             Sebenarnya tidak banyak yang bisa dibicarakan dengan Romy kecuali tentang guru-guru semasa SMA. Bernostalgia sebentar mengingat masa SMA  dulu. Tapi karena Khalisa selalu punya topik pembicaraan yang menarik, Romy menjadi betah di sana. Sampai-sampai tak menyadari kalau sudah hampir jam sembilan. Keduanya merasa lapar kemudian bersepakat untuk makan malam di luar. Khalisa tak  mengajaknya pergi terlalu jauh dari tempat kosnya karena takut kemalaman. Selain itu dia juga tidak tahu jalan. Terbiasa  mengandalkan sopir angkot. Untuk pergi ke suatu tujun cukup mengingat nomor angkot dan di mana harus turun. Dengan seribu atau dua ribu rupiah dia bisa sampai di tempat yang dituju. Kadang memang harus dua atau tiga kali naik turun angkot ditambah jalan kaki untuk bisa sampai di tujuan yang dimaksud.

            "Besok kalau nggak ada acara, ikut aku jalan-jalan yuk Mbak!" Romy mencoba menawarkan kebersamaan.

            "Besok nggak bisa. Aku harus ketemu dosen pembimbing," Khalisa mengajukan alasan padahal sebetulnya dia hanya ingin menolaknya.

            "Ya, udah, kalau pulang ke Yogya kabari aku ya. Kita bisa jalan-jalan sepuasnya. Pantai-pantai di daerah Gunung Kidul itu banyak sekali. Pasti belum pernah ke sana kan Mbak?"

            "Hei, kamu nggak malu jalan sama aku?" pancingnya.

            "Kenapa?" Romy balik bertanya.

            "Jalan sama tante-tante. "

            Tawa Romy pecah seketika. Ketika dia sudah berhasil menguasai diri, yang ke luar dari mulutnya sungguh mengejutkan Khalisa. "Mbak nggak kayak tante-tante kok. Orang yang lihat kita pasti mengira kita nggak beda jauh umurnya."

            "Masak sih? Matanya  siwer kali," Khalisa masih tak percaya.

            "Eh, nggak percaya Mbak Lisa. Kalau lihat Mbak pakai t-shirt dan jeans begini mana ada yang menyangka kalau sudah hampir empat puluh."

            "Ah, kamu pinter menyenangkan orang tua," sahutnya datar.

            "Bener kok Mbak. Ya sudah kalau nggak percaya."

            Tepat jam setengah sepuluh Romy pamit pulang. Sejak tadi Bu Via maupun Ibu kos tidak kelihatan. Teman-teman juga nampaknya masih betah cuci mata atau barangkali sedang dalam perjalanan pulang. Khalisa bersyukur, tak seorang pun melihat Romy. Namun dia merasa khawatir ketika mengantarkan Romy sampai di depan pagar. Jangan-jangan Bu Via mengawasi dari atas atau Ibu kos mengintip dari ruang tamu.

            Lega rasanya karena kekhawatiran itu terhapus oleh keheningan suasana sekitarnya. Bahkan punggung Romy telah hilang dari pandangan. Sewaktu dia berbalik bermaksud kembali naik ke lantai atas, suara Ibu kos menghentikannya.

            "Tamunya tadi siapa Neng?"

            "Teman dari Yogya, Bu."

            "Teman apa ?"

            "Ah, Ibu mau tahu aja sih," balasnya dengan muka memerah.

            "Sama berondong lagi Neng?" goda Ibu sambil senyum-senyum.

            "Makan berondong itu mengenyangkan untuk sementara waktu dan nggak bikin gemuk," kilahnya menutupi semburat merah jambu di pipinya.

            Karena tak ingin berlama-lama mengobrol dengan Ibu kos, Khalisa segera mengakhiri pembicaraan dan pamit naik ke atas. "Ibu, saya sudah ngantuk nih. Saya naik dulu ya!"

            "O,ya Neng. Yang lain belum pada pulang?"

            "Belum bu, lagi senang-senang di BTM," balasnya ringan .

            Ternyata tak lama kemudian mereka pulang. Suaranya berdengung seperti lebah yang baru ke luar dari sarang. Memecah keheningan malam yang terjaga sedari tadi. Khalisa merebahkan tubuhnya di atas kasur yang dihamparkan begitu saja di atas lantai. Lubang-lubang pintu dan jendela mengirimkan hawa dingin yang menyebar ke seluruh permukaan kulit tubuhnya. Sesaat dia merapatkan tubuh tapi tak mampu mengusir dingin. Terpaksa dia menarik selimut wool merah bata milik Trinita untuk menutupi tubuhnya yang mulai kedinginan.

            "Wah sudah meringkuk di atas kasur . Dingin ya Mbak?' tegur  Trinita yang baru saja masuk kamar.

            "Iya, Ta. Nanti kamu masuk saja ke selimut ini ya?"

            "Aku malah gerah nih Mbak. Keringatan. Habis jalan dari depan. "

            "Beli apa aja kamu?"

            "Ah, nggak ada, Mbak. Nggak ada duit. Cuma makan pempek tadi."

            "Dini dapat gebetan nggak tadi?" selidiknya curiga.

            "Biasalah. Dapat kenalan oom-oom terus mojok. Tukeran nomor HP nggak tahu ada follow up-nya nggak nanti, ," sahut Trinita dengan antusias. "O, ya kita ketemu Pak Akbar di sana tadi. Mau nonton film sama teman-temannya. Dia kirim salam buat Mbak terus katanya mau ngajakin kita main badminton hari Minggu nanti.'

          "Males ah," potong Khalisa sebelum Trinita makin menjadi-jadi berkisah tentang lelaki dari Sulawesi itu.

         "Nggak boleh begitu Mbak," ujar Trinita sambil melepas kaos dan celananya karena akan diganti daster sebagai baju tidurnya. Khalisa melihat sepintas semua underwear yang dipakainya berarna merah. Lucunya. Trinita sangat menyukai warna yang melambangkan keberanian itu. Kontras sekali dengan kulit tubuhnya yang putih.

        "Memang ada yang salah dengan sikapku?" Khalisa mencari tahu.

        "Jangan terlalu antipati pada seseorang," nasehatnya lirih. "Belum tentu dia seperti yang Mbak bayangkan meskipun asalnya dari Sulawesi."

        Khalisa tak menanggapi. Kelopak matanya mulai terasa berat. Wajah Romy seperti berada lagi di hadapannya. Tersenyum dengan bola mata berbinar. Menawarkan sebuah petualangan baru baginya. Menjelajah gunung, bukit dan hutan cemara. Andai saja dia mengikutinya berjalan berjajar di samping lelaki muda itu barangkali akan mampu mengusir segala penat yang dirasakannya akhir-akhir ini. Dia masih bimbang untuk memilih antara  mengikutinya atau membiarkan Romy bersama teman-temannya tanpa Khalisa di dekatnya. 

       Trinita menghampiri kasur yang sama. Terasa tambahan beban di kasur itu ketika tubuhnya telah rebah di smaping Khalisa. Matanya yang terkesan galak meredup juga menjelang tengah malam. Entah bayangan apa yang berputar-putar di depan matanya sebagai pengantar tidurnya. Mungkin wajah Pandu dan Uti yang mengharapkan kepulangannya untuk mereka. Tapi bisa jadi malah wajah Mr. Baldi yang terus terbayang di matanya. Hanya Trinita yang tahu bagaimana cara menjaga harmoni di antara para orang-orang terkasihnya.

         Tidur itu pun hanyalah sebuah cara untuk meregenerasi sel-sel tubuh yang melemah atau rusak. Sebagai cara untuk mengistirahatkan fisik dan psikis manusia setelah seharian tak diberi kesempatan berhenti dari aktivitas rutinnya. Namun sesungguhnya otak manusia terus saja beekrja dalam kondisi terjaga maupun tertidur. Mimpi adalah manifestasi dari pikiran dan harapan yang tak pernah berhenti  membebani memori manusia. Khalisa dan Trinita mempunyai mimpi yang berbeda dalam tidurnya meskipun terlihat dalam lelap dan dengkur yang tak begitu jauh berbeda.

         Trinita melihat Mr. Baldi duduk sendiri menghadap danau yang tenang di tengah hutan. Dia mendekat duduk di sampingnya lalu bersama-sama menikmati ketenangan yang melingkupi mereka. Desir angin menemani keheningan yang terasa mulai menjemukan. Tak ada suara lain selain suara alam. Trinita begitu ingin berada dalam dekapan lelaki pujaan hatinya itu namun kemudian Pandu dan Uti mendatangi mereka sambil mentaap tajam seperti ingin mengulitinya. Trinita merapat ke tubuh Mr. Baldi yang dianggapnya akan melindunginya. Di luar dugaan lelaki itu berdiri lalu melangkah pergi menjauhinya.

          Khalisa dalam mimpi yang lain lagi. Bersama Romy menapaki hutan cemara yang rumput-rumputnya masih berembun. Wajahnya terasa dingin namun kehangatan segera mengaliri seluruh tubuhnya ketika lengan Romy memeluknya. Keduanya melangkah pelan dengan napas lembut yang tenang. Sesekali mereka berpandangan lalu tersenyum tanpa kata. Perasaan Khalisa tak menentu ketika teringat pada  Dion yang pernah menciumnya di tengah hutan cemara yang sama.

         Potongan kejadian di hutan cemara itu berlanjut ke bagian lain yang sungguh berbeda. Pak Anwar menunggunya di atas mobil Panther hitam dengan senyum yang baginya adalah seringai serigala lapar. Memaksanya ikut naik ke dalam mobil. Terpaksa menurut dibawa ke mana saja. Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah villa di Puncak. Lokasi villa itu sangat jauh tersembunyi dari keramaian. Desain bangunannya yang sudah kuno dengan gaya arsitektur zaman Belanda  membuat bangunan itu nampak menyeramkan bagi Khalisa. Ketika sedang merasakan debar-debar di dadanya, dia juga melihat Dion dan Pak Akbar di teras villa itu. Mau apa mereka ? Senyum Dion terlihat seperti cibiran. Senyum Pak Akbar kelihatan lebih tulus namun tetap memuakkan di depan mata Khalisa. Kemudian Pak Anwar menghampirinya. Melingkarkan lengannya ke bahu Khalisa seolah tak peduli pada tatapan tajam mata  ke dua lelaki di depannya.

        "Aku sudah booking kamar untuk kita berdua," bisik Pak Anwar begitu dekat di telinganya.

        "Tidak," sahutnya setengah berteriak.

          Kemudian terasa ada tangan yang menggoyang-goyangkan tubuhnya diikuti suara yang sudah sangat dikenalnya. Suara Trinita yang keras dan tegas. "  Bangun Mbak...bangun !"

          Khalisa membuka mata mendapati Trinita berbaring di sampingnya. Sekejap dia pun berhasil mengumpulkan seluruh ingatannya lalu menguasai keadaan di sekitarnya. Menyadari mimpi yang membuatnya berteriak membangunkan Trinita yang tidur lelap.

        "Mimpi apa Mbak kok seram begitu kayaknya," tegur Trinita.

        "Ah, nggak apa-apa," tukasnya tak ingin membagi kisahnya. "Jam berapa sekarang."

        " Jam empat, Mbak. Sebentar lagi Subuh."

            Sepasang mata  itu terbuka makin lebar. Kantuk menguap  dengan sendirinya. Bulu-bulu halus di kulit tangannya meremang beberapa detik.  Agar mampu melawan dingin yang lagi-lagi menyusup lewat celah-celah jendela dan pintu kamar, Khalisa menarik jaketnya yang tergantung di belakang pintu. Memakainya dengan tergesa lalu menarik ritsluiting hingga ke pangkal leher.  Pertama kali yang kemudian dilakukan adalah memeriksa apakah ada SMS di HP-nya.  Ada dua SMS di sana yang segera membuatnya ingin tahu dari siapa dan apa isinya. Pertama dari Pak Akbar dan yang ke dua dari Romy.

            Selamat malam. Semoga malam ini kamu bisa tidur nyenyak dan mimpi indah. Salam. Akbar

            Mbak, besok aku mau ke Puncak. Kalau mau ikut aku jemput sebelum jam delapan. Kabari ya Mbak. Aku pengin bisa jalan-jalan bareng Mbak Lisa.  Romy.

            Seulas senyum terkembang setelah mengakhiri membaca kedua SMS di HP-nya. Wajah Romy terbayang lagi. Mata bulatnya yang menggambarkan semangat anak muda yang tak pernah padam membuatnya tersedot ke dalam semangat yang sama. Apa salahnya aku memenuhi keinginan Romy, begitu suara hatinya membuatnya resah beberapa lama. Bukankah lebih aman dan tak beresiko bepergian bersama Romy dan teman-temannya? Sebenarnya memenuhi ajakan Pak Akbar untuk bermain badminton bersama pun tak menimbulkan resiko yang menakutkan. Hanya saja Khalisa khawatir kalau menerima ajakan itu diartikan sebagai terbukanya peluang untuk mendekatinya. Jangan-jangan nanati Pak Akbar merasa GR kemudian merasa kalau Khalisa bersedia menerimanya menjadi seseorang yang istimewa dalam kehidupannya. Itu tidak boleh terjadi. Karena itu sebaiknya dia menolak ajakannya supaya Pak Akbar tidak terlalu berharap padanya.

            Bagaimana dengan penulisan proposal tesisnya yang masih terus  harus selalu direvisi? Dipandanginya proposal yang berubah menjadi kipas dengan lembaran-lembaran terlipat yang begitu banyak. Sebagian sudah diperbaiki tapi masih perlu waktu untuk memperbaiki sisanya. Mungkin sekaranglah saatnya seblum pagi datang dan suara-suara teman-teman sekosnya mengganggu konsentrasinya. Diraihnya proposal setebal dua puluh halaman itu kemudian laptop dihidupkan. Ternyata di balik semua kejadian tadi ada tujuannya. Dia bermimpi hingga mengigau lalu dibangunkan Trinita. Setelah berhasil bangun sekarang matanya tak mau lagi terpejam karena rasa kantuk sudah terpuaskan. Percik-percik kecerdasannya berlimpah di otaknya kini. Saat yang paling tepat untuk merevisi proposal tesisnya.  Besok pagi dia tak ingin menemui dosen pembimbing dulu, karena masih ada dua hari lagi sebelum akhir minggu. Sedikit refreshing dirasa sungguh perlu untuknya. Dia teringat saat masih mahasiswa S1 di semester-semester awal dan begitu disibukkan oleh aktivitasnya sebagai reporter sebuah tabloid mahasiswa. Karena sering dikejar deadline penerbitan tabloid, Khalisa sampai-sampai harus rela kehilangan waktu untuk bisa bersama Hendri, yang kala itu sedang melakukan pendekatan dengannya. Ah, Hendri, lelaki Ambon keturunan Portugis berkulit putih bertubuh tinggi atletis itu pun tak tahan dinomorduakan. Dia berpaling melakukan pendekatan kepada mahasiswi lain yang  menyediakan banyak waktu untuknya. Khalisa tak ingin melakukan kesalahan yang sama. Dia begitu yakin proposal tesisnya akan selesai hari ini kemudian dosen pembimbing akan menyetujuinya paling lambat akhir minggu ini.

            Tangannya tak bisa dikendalikan, tiba-tiba saja dia telah menelpon Romy sambil melihat layar monitor laptop yang menampilkan proposal tesisnya pada halaman yang akan segera direvisinya. Beberapa saat tak ada sahutan pada panggilan yang dilakukan lewat HP-nya. Mungkin masih terlalu dini untuk menelpon Romy. Matahari masih belum terbit. Bahkan adzan Subuh pun belum terdengar. Ah, kenapa dia menelpon saat fajar belum lagi tiba?

            "Ya, Mbak, ada apa?" suara Romy serak. Mungkin tidurnya masih belum cukup untuk memulihkan energinya.

            "Masih ngantuk?"

            "Iya, Mbak. Kok nelpon pagi-pagi begini. Kangen aku ya?" sahutnya lagi.

            "Jangan GR ah.  "

            "Ya,  jam segini udah bangunin orang tidur. Ada apa Mbak?  Jadi mau ikut aku jalan-jalan nanti?"

            "Iya  Rom, jemput aku nanti ya!"

            "Oke, Mbak. Udah dulu ya. Aku tidur lagi. Jam delapan aku sampai sana nanti. Jangan telat lho Mbak!"

            "Jangan tidur lagi Rom, sebentar lagi Subuh!"

            "Sebentar saja kok.  Satu jam lagi.  Lumayan. Sampai nanti ya Mbak !"

            Romy mengakhiri pembicaraan di telpon. Khalisa tersenyum sendiri membayangkan kebersamaannya nanti. Tak peduli bagaimana teman-teman sekosnya nanti akan mengomentari Romy. Sosok ini belum pernah diketahui oleh mereka karena belum sedikit pun dia menceritakannya. Mereka hanya mengenal Revi sebagai berondong manis yang entah menempati posisi apa di hati Khalisa. Lantas nanti akan muncul Romy yang juga entah akan ditempatkan di sudut hati yang mana?  Meski tak satu pun yang pasti Khalisa  merasa  tercukupi oleh rasa cinta. Revi dan Romy mungkin telah memahat sebentuk cinta yang lain untuknya.

            Matanya kini tertuju pada layar monitor laptop yang telah berganti dengan screen saver bergambar bunga tulip beraneka rupa.. Setelah diklik untuk melihat proposal tesisnya dia lantas tenggelam dalam pikiran dan kepiawaian menyusun kata demi kata membentuk kalimat-kalimat efektif yang diharapkan sang dosen pembimbing. Jari-jarinya menari-nari lincah di atas keyboard laptopnya. Sejurus lamanya hanya suara tuts-tuts keyboard laptop yan g mengisi keheningan fajar di kamarnya. Begitu senyap memaksa jiwa penat dalam sekejap. Kelopak mata menjadi berat lagi seprti tersedot ke dunia asing yang hampa. Dengan sepenuh kesadarannya Khalisa mencari-cari musik dengan beat yang cepat dan kuat. Musik seperti itu akan membuatnya terjaga dan otaknya bekerja lebih cepat dari biasanya. Namun dia berusaha menjaga volume agar tetap dalam batas yang wajar sehingga tidak membangunkan Trinita dan teman-teman lainnya.

            Lipatan-lipatan  pada proposal tesisnya  dibuka lalu dihamparkan rata setiap kali dia selesai merevisi pada soft copy di dalam laptopnya. Pelan-pelan jumlah lipatan kertas itu pun mulai berkuranga. Berharap sebelum jam delapan semua lipatan sudah diratakan seperti lembaran-lembaran lain yang tidak harus direvisi. Dia terus mengetik, berpikir dan mengolah kata yang tepat untuk mendapatkan hasil terbaik sesuai harapan para dosen pembimbing.

            Adzan Subuh berkumandang memenuhi angkasa raya dan terbawa hingga ke kamarnya. Pada saat iru, dia menyadari hanya tersisa sepuluh lembar lipatan lagi yang harus diperbaiki. Karena tak ingin menunda waktu untuk mengerjakan sholat, dia menghentikan jari-jarinya agar tak lagi bekerja. Beranjak dari kursinya menuju kamar mandi di luar untuk membasuh tubuhnya dengan air wudhu. Dingin yang meruap ke seluruh tubuhnya tak dipedulikannya. Segar rasanya mendapatkan siraman air di tubuhnya yang telah terbebas dari letih selepas tidur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun