"Kok bisa begitu, Bu?"
      "Sudah mati rasa. Kita hanya seperti  Kakak  Adik sekarang. Menerima amanah untuk mengasuh dan mendidik anak-anak sampai dewasa dan bisa mandiri."
      "Seharusnya tidak boleh begitu, Bu," sanggahnya tak berguna.
      "Ibu jalani saja Neng. Mungkin ini yang terbaik. Tidak ada pilihan lain," keluhnya sendu.
      Beginilah kalau perempuan hanya dilekati peran reproduksi. Melahirkan anak saja. Tak bisa menghasilkan uang sendiri. Bergantung kepada suami saja. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan kaum lelaki tumbuh subur karena terlalu banyak perempuan yang hanya berperan sebagai Ibu dan Istri. Maka tunduklah engkau kepada suamimu karena di sanalah surgamu. Itulah yang selalu diyakini Ibu.  Khalisa tak bisa mengubah nilai-nilai yang telah melekat sepanjang usianya. Ibu akan selalu berbakti dan patuh kepada suami. Melayani tanpa mengeluh, mendampingi tanpa mengembangkan isi pikirannya sendiri dan menerima dengan ikhlas apa saja perlakuan suami. Kalau suami marah dan meninggalkannya, seorang istri  akan merasa sangat berdosa. Maka yakinlah jika rumahmu akan menjadi surga yang dibangun dengan rahmat Illahi. Penuh kasih sayang karena  pengabdian  istri mendapat balasan sepadan dari suami.
      "O, ya Neng tadi yang nanya alamat siapa? Ada teman yang mau datang?" Ibu mengalihkan pembicaraan.
      "Iya, Bu, teman dari Yogya."
      "Laki apa perempuan?" selidiknya.
      "Ah, Ibu mau tahu aja."
      "Jangan-jangan berondong lagi ini?"
      Khalisa tertawa saja mendengarnya. Tangannya mulai asyik mengambili kacang rebus dan makan pelan-pelan. Ibu pun mengikutinya. Berdua duduk di ruang tamu menghadapi meja dengan sepiring kacang rebus yang masih hangat.