Mohon tunggu...
ARSaleh
ARSaleh Mohon Tunggu... Pensiunan ASN

Pensiunan ASN, hobi menulis cerpen/novel/opini. Terkadang menulis ilmu pengetahuan. Mohon maaf, belakangan ini saya tidak konsisten mengunggah Cerbung saya karena sistemnya sering error, katanya karena padatnya traffic. Jadi bukan saya sengaja terlambat.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Jejak Pustakawan - Bagian 13, 14, dan 15

12 September 2025   23:34 Diperbarui: 12 September 2025   23:34 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibuat menggunakan Chat GPT

Bab 13: Ujian yang Datang dari Arah yang Tidak Kuduga

Orang sering mengira ujian terberatku terjadi di kampus---saat mengejar nilai, menghadapi bahasa asing, atau beradaptasi dengan budaya yang serba berbeda.

Tapi ternyata, ujian yang paling menguras jiwa justru datang dari tanah air.

Suatu malam, surat datang dari ayah.
Isinya singkat, tapi isinya berat.
Adikku akan kuliah di kota tempat tinggalku. Ia diminta untuk menumpang tinggal di rumahku. Sekalian dibantu biayanya.

Aku anak pertama. Aku tahu arti kalimat itu: bukan sekadar menumpang tidur. Tapi juga menumpang hidup.
Dan itu berarti Agustin yang akan memikul sebagian besar beban, karena aku masih jauh di negeri orang, hanya bisa mengirim sedikit dari uang hidup yang nyaris tak bersisa.

Aku telepon Agustin, sedikit takut mendengar reaksinya.

Tapi ia hanya menjawab pelan, "Ya sudah, Mas. Aku ngerti. Kewajibanmu juga. Nanti aku cari pinjaman buat bantu bayar uang kuliahnya."

Suara Agustin tenang, tapi aku tahu ada luka yang tidak bisa dijelaskan.
Dan luka itu bertambah ketika adik yang ditolong malah mulai menuntut.

Dia minta sepatu baru---bukan sepatu biasa, tapi yang harganya lebih mahal dari gaji bulananku di sini.
Dia bilang, "Kan Mas Herman kuliah di Inggris. Masa gak bisa?"

Dia tidak tahu. Atau tidak mau tahu.
Bahwa aku ke Inggris bukan untuk cari uang.
Bahwa tiap hari aku hemat makan, jalan kaki, mencuci baju sendiri, menahan lapar dan dingin.
Bahwa Agustin sampai harus menahan malu meminjam uang hanya untuk menjaga harga diri keluarga ini tetap berdiri.

Dan yang paling menyakitkan:
dia tidak berterima kasih.
Bahkan mengeluh karena lauk di rumah terlalu sederhana.

Aku tidak marah. Tapi hatiku berat.
Bukan karena aku tak ikhlas membantu. Tapi karena tak ada pengertian. Tak ada empati. Tak ada penghargaan.

Malam-malam berikutnya aku belajar sambil menggenggam kesedihan.
Sambil mengingat wajah Agustin dan anakku, yang tetap bertahan di rumah kecil, menjaga semua agar tidak runtuh.

Dan di tengah semua itu, aku hanya bisa berkata dalam hati:
"Aku harus selesai. Aku harus kuat. Aku harus pulang membawa sesuatu yang bisa menebus semua ini."

 

Bab 14: Kabar dari Rumah yang Menghancurkan Segalanya

Tugas-tugasku tetap berjalan.
Meski ada tekanan dari rumah, meski rasa letih dan rindu menumpuk, kuliahku tidak terbengkalai.
Hampir setiap minggu aku harus menyelesaikan paper---bukan sekadar opini, tapi Systematic Review yang menuntut referensi ilmiah, validasi teori, dan struktur argumentasi yang presisi.

Aku membaca jurnal sampai mataku perih.
Telingaku masih berusaha menyesuaikan dengan diskusi kelas yang sering melejit ke arah yang tidak kuduga.
Tapi perlahan-lahan, aku mulai melihat ujung jalan. Term 3---term terakhir---sudah di depan mata.

Satu demi satu mata kuliah diuji.
Nilai-nilai awal mulai keluar. Aku tahu, aku bisa lulus. Tinggal satu mata kuliah lagi, satu langkah terakhir.

Sore itu, aku duduk di meja kecil di kamar asrama. Di sebelahku ada setumpuk catatan untuk ujian terakhir.
Aku menyiapkan teh, membuka folder soal-soal lama, dan berniat belajar seperti biasa.

Tapi kemudian aku membuka satu surat dari tanah air.
Dari Agustin.
Tulisannya rapi. Halamannya tidak banyak. Tapi saat mataku menyapu kalimat ketiga, seluruh duniaku runtuh.

"Mas, aku ingin menyampaikan ini dengan tenang, tapi aku tidak tahu bagaimana cara yang paling tidak menyakitkan. Ibu... telah meninggal dunia. Kanker payudara. Maafkan aku, Mas, aku tidak bisa bilang lebih awal karena kami semua juga tidak siap..."

Aku berhenti membaca. Tanganku gemetar.
Mataku mulai panas. Kepalaku kosong.

Ibuku. Perempuan yang membesarkanku. Yang selalu bilang, 'Herman, belajar yang tinggi ya. Biar kamu bisa hidup lebih baik dari kami.'

Aku tidak ada di sisinya saat ia sakit.
Aku tidak menggenggam tangannya di detik terakhir.
Aku tidak bisa mengecup keningnya di pemakaman.
Aku bahkan tidak bisa memeluk ayah, atau memeluk adik-adikku.

Aku hanya duduk di negeri asing, dengan setumpuk catatan, dan kepedihan yang tidak bisa kubagi ke siapa-siapa.

Tangisku pecah malam itu.
Bukan tangis keras. Tapi tangis yang ditahan terlalu lama. Tangis seorang anak yang merasa gagal melunasi cinta ibunya.

Ujian terakhir tetap harus aku hadapi.
Tapi malam itu, aku tidak belajar apa-apa---selain satu hal:

Orang bisa kuat menghadapi dunia. Tapi tetap rapuh kalau kehilangan tempat pulang.

 

Bab 15: Laut yang Tidak Menjawab Apa-Apa

Setelah membaca surat dari Agustin, malam itu aku tidak bisa memejamkan mata.
Keningku panas. Tubuhku dingin. Tapi yang paling beku adalah pikiranku.

Aku buka Al-Qur'an kecil yang selalu kubawa. Suaraku pelan, nyaris tak terdengar, mengaji ayat demi ayat.
Tidak untuk mencari pahala, tapi untuk menemukan sesuatu yang bisa menahan diriku agar tidak hancur seluruhnya.

Malam itu panjang. Sangat panjang. Tapi juga terasa sebentar, karena pagi datang tanpa aku siap apa-apa.

Hari itu adalah ujian terakhir---mata kuliah terakhir yang akan menutup seluruh perjalanan studiku.
Aku datang ke ruang ujian. Duduk. Menatap lembar soal.

Tapi aku tidak bisa menjawab satu pun.

Bukan karena aku tidak tahu materinya. Tapi karena pikiranku tidak bisa fokus pada apa pun selain satu kalimat:
"Ibu sudah tidak ada."

Tanganku memegang pena, tapi tidak bergerak.
Aku hanya duduk selama waktu ujian berlangsung.
Diam. Hampa. Gagal.

Setelah selesai, aku keluar dari ruang ujian tanpa berkata apa-apa. Tidak ke teman, tidak ke dosen, tidak ke diriku sendiri.

Aku tidak pulang ke asrama.
Entah bagaimana, aku berjalan ke arah pantai---sendirian.
Angin musim semi masih dingin menusuk tulang. Tapi aku tidak peduli.
Aku duduk di pasir basah. Menatap laut. Menatap garis horison yang tidak bergerak.

Mataku terbuka. Tapi pikiranku kosong.

Air laut bergerak. Ombak datang dan pergi. Tapi tidak ada suara yang bisa menenangkan.

Aku bertanya dalam hati, tapi tidak ada jawaban.
Aku mencoba menangis lagi, tapi tangisku sudah habis semalam.

Jam berlalu.

Sampai akhirnya ada suara familiar.
"Herman, what's goin' on?"

Aku menoleh. Itu Karen. Rambutnya tertiup angin, wajahnya khawatir.
"Are you okay?"

Aku hanya menjawab pendek, tanpa suara bergetar---karena kesedihanku sudah terlalu dalam untuk dikeluhkan.

"No, I'm not okay. My mother just passed away."

Karen menatapku lama.
Lalu tanpa basa-basi, ia duduk di sampingku, memeluk bahuku sebentar, lalu berkata,

"I'm sorry to hear that. Let's go home. It's not good to stay here for long time."

Aku hanya mengangguk.

 Kami berjalan pelan ke arah asrama.

Langit mulai mendung.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa tak ada tempat yang cukup jauh untuk lari dari kehilangan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun