Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menyusuri Elegi Seorang Hamba (Bagian 2)

25 April 2020   17:17 Diperbarui: 25 April 2020   17:35 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi : Pakaian Adat Pernikahan suku Karo (Dokpri)

Bagian 2

Pencarian Jati Diri: Rumah Tangga?

...you say I'm crazy...I know I'm not the only one... (I'm not the only one, Sam Smith)

Lebih kurang empat bulan sudah, Tegar bekerja di kantor kecamatan itu. Pekerjaannya adalah melayani masyarakat yang hendak membuat surat-surat administrasi kependudukan. Mulai dari KTP, kartu keluarga, pengantar akte kelahiran, pengantar akte perkaWulann, surat keterangan kematian, surat keterangan ahli waris, surat keterangan miskin, dan sebagainya. Singkatnya, semua surat-surat mulai dari manusia lahir, hidup sampai mati. Ditambah lagi pekerjaan membuat amplop surat.

Perjalanan pulang pergi dari kantor ke rumah selama 20 menit, dari hari Senin sampai Jumat, adalah hal yang disenangi Tegar. Ia dipinjami motor bebek buatan tahun 1980 milik ayahnya yang menjelang pensiun. Ia membawa bekal untuk makan siang di kantor dalam rantang yang disiapkan oleh ibunya.

Barangkali begitulah bapak dan ibunya turut bersyukur karena anak sulungnya kini bekerja. Kata mereka, bekerja adalah hakikat hidup manusia. Manusia perlu bekerja untuk makan, untuk memperoleh imbalan, gaji, upah, apapun itu, itu adalah uang.

Setelah itu manusia kawin, melahirkan anak, membesarkannya, menyekolahkannya, agar anak-anak mereka juga bisa bekerja nantinya. Mencari uang dan begitulah seterusnya, sampai satu-satu yang lebih dahulu lahir akan mati duluan.

Manusia bekerja untuk menghasilkan uang. Hanya itukah tujuan manusia bekerja? Adakah hal yang patut untuk disyukuri dari kenyataan yang hanya berulang-ulang seperti itu? Demikian pikir Tegar dalam benaknya, sesekali saat ia menyantap bekal makan siangnya di bangunan kantor yang cukup tua itu.

Masa empat bulan itu adalah masa bulan madu dalam pekerjaan Tegar. Ia tetap bersemangat berangkat kerja setiap hari. Mengetik blangko KTP, kartu keluarga dan surat-surat lainnya tentang manusia yang lahir, hidup sampai mati.

Setiap hari juga ia memacu motor bebeknya pulang dan pergi untuk bekerja, dan memakan bekal rantangan yang disiapkan ibunya. Mungkin benar bahwa cinta datang kalau telah terbiasa. Kebiasaan-kebiasaan itu telah menjadi citra diri Tegar dalam empat bulan terakhir.

Ia supel dan bergaul dengan siapa saja. Ia menjadi cepat akrab dengan para kepala desa dan perangkat-perangkat desa yang datang dan pergi silih berganti membawa berkas-berkas kepentingan warganya. Kesenangan Tegar dalam menjalani kesehariannya bukan karena ia telah berhasil menemukan motivasinya sendiri, tetapi karena dukungan dan motivasi rekan kerja yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak, Wulan namanya.

Usianya jauh lebih tua, tapi dengan badan yang kurus kecil. Wanita yang satu ini sungguh menunjukkan etos kerja dan moral yang baik sebagai seorang pegawai. Berpendidikan sarjana ekonomi dan belum berumah tangga. Ia sangat larut menikmati pekerjaannya.

Dari dia, Tegar sering belajar bagaimana menjalani suatu tugas sekalipun tidak disukai. Katanya itu adalah tanggung jawab, yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada atasan tetapi juga kepada Tuhan. Wulan memang seorang yang relegius, tetapi sangat supel dalam bergaul.

Pada suatu siang pak Camat memanggil Tegar ke ruangannya. Kantor itu memang kecil dan pegawainya hanya selusin. Interaksi setiap orang sedemikian cairnya, para pimpinan biasa juga menugaskan para pegawai yang bukan bawahannya.

"Ada apa Pak?" kata Tegar.
"Kamu duduk di situ. Kamu ada keluhan apa bekerja di sini? Apa yang tidak pas dengan saya menurut kamu? Ayo kamu coba katakan dengan jujur" kata pak Camat.
"Lho, maksudnya apa Pak? Saya sungguh tidak mengerti" Tegar menimpali.
"Ini, saya dapat surat dari Kabupaten. Kamu diam-diam rupanya sudah merencanakan pindah dari sini ya? Padahal saya baru dua bulan di sini. Kamu juga baru kan?" kata pak Camat, yang memegang sepucuk surat dinas.
"Masa iya Pak? Saya merasa tidak ada mengurus soal pindah, dan sudah mulai merasa kerasan di sini Pak. Saya juga baru empat bulan di sini" bela Tegar.

Saat mereka sedang bersoal jawab tentang isi surat dari Kabupaten itu, sebuah mobil minibus pribadi berwarna biru parkir di halaman kantor. Lalu keluarlah seorang pegawai yang agak jangkung dengan tubuh kurus berkulit hitam, dan kepala dengan rambut sudah sedikit membotak.

Dengan raut muka yang sangat ceria, ia masuk saja ke ruangan pak camat. Rupa-rupanya ia adalah seorang kepala di sebuah unit kerja yang akan menjadi tujuan penampatan Tegar setelah empat bulan bertugas di kantor ini. Demikianlah isi surat itu, "Untuk kepentingan tugas, maka mulai tanggal 17 April 2007 menempatkan Tegar di Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa."

"Oh, pak Bimbim rupanya. Jadi begitu cara permainannya sekarang ya? Seenaknya kalian mencomot anak buahku padahal kami pun kekurangan orang di sini", pak Camat meluapkan kekesalannya menyambut tamunya yang tampak sangat ceria ini.
"Saya bukan orang yang berwenang mencomot anak buah Bapak. Saya hanya ditugaskan untuk menjemput si Tegar ini. Mulai besok, dia sudah harus bekerja di tempatnya yang baru. Saya hanya diperintah lho Pak" balas pak Bimbim.
"Ah, paling juga cuma cerita karanganmu sendiri itu. Biasanya juga masih beberapa hari lagi ia disini, menyelesaikan tugasnya yang belum tuntas sebelum ia pindah. Kurang ajar betul" masih dengan raut muka kesal, pak Camat melotot ke arah tamunya itu.
Namun sang tamu dengan tenang dan ceria menimpali, "Benar pak Camat, ini perintah dari istri Bupati. Besok juga ia harus sudah mulai bekerja di kantor PKK".

PKK adalah singkatan dari Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga, sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dalam upaya pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan-pembinaan keluarga, umumnya melalui kelompok ibu-ibu di desa.

"Hahahahahaha..." pak Camat terbahak-bahak mendengar jawaban tamunya itu.

"Urusan apa seorang pemuda baru lulus sekolah disuruh bekerja di kantor PKK? Kalian sudah gila apa? Dia mau buat apa di sana? Ngerumpi?", kata bos Tegar itu.

Perasaan Tegar mulai tidak enak, bukan saja karena ia akan segera pindah lagi, tetapi tempat tujuannya bekerja selanjutnya memang terdengar agak "lain" sebagaimana gambaran pak camat, bosnya itu. Tersinggung dengan celotehan pak Camat, air muka tamu yang periang itu berubah. Agaknya ia memang tersinggung dan langsung pergi tanpa permisi.

"Kau lihat Tegar? Beginilah pemerintahan ini sekarang dikelola. Orang bukannya dikasih kerja sesuai bidangnya, tetapi seenak perutnya comot sana sini sesuka mereka". Tak jelas siapa yang dimaksud pak camat dengan kata mereka. Namun, bukankah ketidakjelasan memang hal yang biasa dalam kesadaran akan eksistensi manusia?

Belum lagi paham apa gunanya bekerja di tugasnya yang sekarang, ia malah harus pindah lagi ketempat yang baru. "Iya Pak" kata Tegar dengan perasaan berkecamuk, tidak tahu lagi mau berkata apa.

Agaknya tamu yang diutus untuk menjemput si Tegar itu bukan orang sembarangan. Sekalipun pak camat sangat kesal dengan surat yang diterimanya siang itu, pada hari itu juga tetap diadakan acara perpisahan sederhana di aula tengah kantor itu. Ruangan itu sungguh sangat sesak karena difungsikan juga sebagai gudang beras miskin (raskin), sebelum diangkut oleh masing-masing kepala desa untuk disalurkan ke warganya.

Pegawai yang selusin itu dikumpulkan di aula. Setiap orang duduk di kursi plastik, pak camat menyampaikan isi surat dan maksud pertemuan mendadak pada sore itu. Para pegawai mengangguk-angguk mendengarkan ceramah pak camat dan sebagian lagi mencuri pandang ka arah Tegar yang duduk di samping pak Camat. Seakan mereka juga bertanya-tanya apa yang terjadi sehingga orang ini buru-buru sekali mau hengkang dari tempat ini.

"Jadi, terimakasih kita ucapkan kepada si Tegar atas pengabdiannya selama empat bulan bersama-sama dengan kita di tempat ini" kata pak Camat yang tampak menyampaikannya dengan tulus. Tetapi mendengar isi kalimatnya, cukuplah bagi Tegar untuk menertawakan dirinya sendiri. Pengabdian apa yang telah diberikan oleh seorang pegawai pemula, yang masih seumur jagung dan tanpa pengalaman, di sebuah kantor kecamatan selama empat bulan? Tapi sudahlah, toh semua ini bukan permintaan sendiri, demikian batin Tegar.

Disamping acara itu, sebelum meninggalkan kantor, Tegar berpamitan kepada teman-temannya, yang sebagiannya sudah dianggap seperti ibu dan kakak oleh Tegar. Entah bagaimana, konstruksi sosial di masyarakat kampung ini memang terkadang aneh. Suasana sendu dalam perpisahan itu terasa lebih cocok dikemukakan kepada wanita dari pada laki-laki. Sikap keibuan seorang wanita menjadi faktor yang membuat anak-anak lebih merasa dekat dengan ibunya, terutama di saat adanya pergumulan batin. Sebagian laki-laki memang juga memiliki sikap keibuan.

Tak kurang dari bu Ani, bu Dama, bu Reni, bu Kiki dan tentu saja bu Wulan turut menyatakan salam perpisahan. Padahal masih masa-masa awal perkenalan dengan tugas. Ibu-ibu itu juga menyelipkan pesan-pesan dan harapan agar di tempat kerja yang baru, Tegar bisa lebih baik dan sukses.

Hal-hal klise sebagaimana halnya dalam pertemuan dan perpisahan dimana-mana, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia memang makhluk yang merasa saling terkait dengan manusia lainnya. Sekalipun bukan keluarga biologis, hubungan antar manusia dalam dunia kerja telah menciptakan sebuah hubungan yang meliputi berbagai aspek, sosial, psikologis maupun inderawi, yang bukan saja sulit tetapi memang tak dapat diputuskan begitu saja sekali itu tercipta.

Dalam kehidupan kita dapat menyaksikan bagaimana warga satu dusun bisa bergotong royong mencari jasad dari seorang korban kecelakaan yang terjadi di dusunnya, sekalipun itu bukan warganya. Kita juga dapat melihat bagaimana seseorang bisa ikut meneteskan air mata menyaksikan isak tangis dari anak dan istri yang ditinggal mati suaminya dalam usia yang masih sangat muda. Atau bagaimana kita merasa ada yang kurang saat berada di ruang kerja, sementara teman yang biasa duduk di sebelah kita dan berbicara kepada kita hari ini besoknya sudah tiada.

Manusia biasa berkerumun dan berkumpul berduyun-duyun manakala tersentuh kemanusiaannya. Tapi ini bukan perpisahan karena kematian, hanya pindah tugas. Jadi tidak perlu perenungan yang sedalam itu. Begitulah seterusnya kehidupan harus berjalan.

Pernah suatu ketika, seorang teman, Oga, bertanya kepada Tegar apa perkerjaannya. Teman ini adalah seorang feminis, yang tidak pernah punya keinginan berumah tangga. Dengan tubuh yang kurus, tapi kelihatan pintar dari parasnya, dan sangat bersemangat dengan gairah intelektualitasnya.

Disamping peran akademiknya sebagai dosen dan peneliti, sehari-harinya ia juga adalah aktivis untuk sebuah lembaga swadaya masyarakat di bidang pemberdayaan perempuan.

"Saya bekerja di Tim Penggerak PKK" kata Tegar seakan tak percaya apa yang dikatakannya sendiri, telinganya memerah. Ia sepertinya tidak tenang menunggu reaksi dari temannya itu, yang sebagaimana orang-orang biasanya akan segera menertawakannya.

Bayangkan saja, unit kerja yang disebut Tegar sebagai "tim" itu memang adalah sebuah tim yang terdiri dari dua puluh enam orang, dimana dua puluh empat diantaranya memang ibu-ibu. Tegar adalah wakil sekretaris di tim itu.

Lelaki satu-satunya yang menjadi teman Tegar adalah seorang yang bekerja di dinas kesehatan. Tegar sendiri sebenarnya bekerja di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, disamping tugas tambahannya sebagai anggota tim penggerak PKK. Maka tak pelak lagi, setiap ditanya apa pekerjaannya, Tegar lebih memilih mengatakan anggota tim penggerak PKK, karena sudah jenuh diledek terus oleh teman-teman dan orang-orang yang bertanya.

Ibu-ibu di tim itu rata-rata sudah cukup berumur. Kiprah mereka sudah sejak masa pemerintahan orde baru, dan mereka sangat sarat dengan pengalaman. Sebagian ada yang pensiunan pegawai, sebagian lagi adalah istri-istri mantan pejabat.

Kalau Tegar membayangkan akan kembali diledek temannya yang bertanya itu, tetapi ternyata sebaliknya. Dengan raut serius temannya itu berkata "Tahu kau apa bedanya kegiatan di PKK dengan koalisi perempuan yang saya ikut didalamnya Gar?" tanya temannya itu.
"Apa?" tanya Tegar.

"Sesuai hasil risetku, biasanya ibu-ibu PKK akan mencari desa-desa yang tidak terlalu jauh dari kota dan masyarakatnya sudah agak maju untuk dijadikan desa binaan atau desa percontohan. Kalau kami di koalisi lebih memilih desa yang paling terbelakang dan masyarakatnya yang paling bodoh untuk diberdayakan. Kami lebih suka menyebutnya diberdayakan ketimbang dibina, karena alih-alih dibina, beberapa pemerintah bahkan terkadang sadar atau tidak malah membinasakan warganya, betul tidak Gar?" tanya temannya itu.

Tegar terpaku mendengar celoteh temannya itu. Tidak ada nada menghina dalam intonasi suara temannya itu, bahkan Tegar bisa merasakan ada benarnya sesuai pengalamannya sendiri melihat desa-desa percontohan yang sudah pernah dikunjunginya bersama ibu-ibu PKK selama kurang dari setahun ini.

Bangkit dari Kematian Kakek

Kesadaran yang timbul dari perbincangan dengan seorang teman itu tidak cukup kuat untuk mendongkrak semangat kerja Tegar, yang telah tersesat dalam labirin jalan pikirannya sendiri. Ia termakan stigma negatif dari orang-orang, karena merasa dihukum dengan "tugas berat" membantu ibu-ibu "pemberdaya" keluarga di desa-desa.

Begitulah ia berpikir setiap hari. Hingga di suatu hari, Tegar mendapat telefon dari ibunya bahwa kakeknya dari ibunya yang sudah sakit belakangan ini dan keluar masuk di rawat di rumah sakit, akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Baru saja Tegar mengalami perpisahan dengan rekan kerjanya di kecamatan, kali ini dia harus berpisah dengan kakek dari ibunya. Itu adalah perpisahan dalam artian yang sebenarnya. Berpisah dari kehidupan melalui kematian.

Bagi Tegar, kakek adalah bapak masa kecilnya. Ia yang mengajarkan tindakan praktis dalam kehidupan; bertani, berenang, memelihara ternak, mencintai kehidupan di ladang-ladang, di sawah-sawah, di sungai dan di gunung.

Itu semua adalah kenangan Tegar saat ia masih di sekolah dasar, terpisah dengan orang tua yang ada di lain kampung. Pernah suatu ketika, kakeknya berkata bahwa Tegar cucunya akan menjadi seorang pegawai yang baik suatu hari nanti. Kakeknya adalah seorang pensiunan guru SD di kampung, yang meminta pensiun dini untuk kembali membajak di ladang.

Dialektika kehidupan yang mempertentangkan antara harapan dan kenyataan ternyata datang sangat segera dalam masa kehidupan yang sangat singkat ini, gumam Tegar dalam hatinya. Tegar mengusap titik air mata yang mengalir dari pelupuk mata ke sisi pipinya.

Kakeknya yang pensiun dini dari guru SD untuk bisa fokus bertani, membanting tulang mencari uang membiayai kuliah anak-anaknya, ternyata harus berakhir di kasur lapuk rumah sakit, oleh penyakit yang mungkin telah sangat lama menggerogoti tubuhnya.

Barangkali meskipun kini Tegar cucunya, yang lulusan sekolah pamong pemerintahan di Bandung sudah bekerja, mungkin bukanlah seorang pegawai yang baik seperti harapannya. Nyatanya Tegar kini bekerja di PKK. Maafkan aku, bisik Tegar lirih kepada telinganya sendiri.

Upacara penguburan kakek Tegar telah selesai. Para kerabat yang beberapa hari berkabung di sekitar jenazah di rumah kakeknya, yang datang berduyun-duyun dari beberapa kampung sekitar kini telah kembali ke rumahnya masing-masing.

Manusia tetap dimuliakan oleh sesamanya sekalipun dalam matinya. Mereka datang meratap menyatakan dukacitanya, sekalipun mereka adalah pribadi-pribadi yang terpisah dalam kesehariannya. Sekalipun terpisah, beberapa manusia adalah pribadi-pribadi yang selalu menyatu dalam jiwanya. Kehidupan harus kembali ke jalan kesehariannya sekalipun seorang-seorang diantaranya akan mati juga dalam perjalanannya. Tegar pun kembali bekerja, seperti biasanya, tetapi makin kecut dengan semangatnya.

Pada suatu malam seusai makan malam, Rubini ibu Tegar, bertanya kepada Tegar perihal kelesuan anak sulungnya. "Nak, kenapa belakangan ini kok ibu lihat Kau menjadi semakin pemurung saja? Sehat Kau Nak? Jangan-jangan Kau bertengkar dengan pacarmu ya?" tanya ibu.

Dua tahun belakangan ini, Tegar memang berpacaran dengan Ella, teman wanita semasa SMA.

"Tidak Mak. Nggak ada apa-apa, hanya lesu karena letih saja. Nanti juga setelah istirahat segar sendiri" kata Tegar.
"Jangan berbohong sama ibu. Aku lihat Kau juga sering tidak masuk kerja. Terkadang juga pulang ke rumah saat masih jam kerja. Tidak bagus orang tidak semangat bekerja seperti itu" sambung ibu Tegar.
"Sudahlah Mak. Nanti juga semangat lagi" kata Tegar beranjak dari meja makan dengan alasan mau beristirahat.

Kondisi Tegar yang lemah, letih, lesu terus berlanjut. Bahkan sekarang lebih suka mengurung diri di kamar. Bangun pagi saat hari sudah sangat siang. Sering tidak ikut pergi beribadah ke gereja di hari Minggu, dan sepertinya sudah malas bertemu dan berbicara dengan teman-temannya.

"Tegar, kesini kamu, bapak dan mamak mau berbicara" kata ibunya pada suatu malam seusai makan malam.
"Sekarang kami perlu kamu jawab dengan jujur, apa masalahmu? Bukannya mamak dan bapak tidak melihat perubahan dirimu yang semakin lama semakin menjadi pemurung. Apa yang terjadi?" tanya ibunya.

Entah apa yang ada di benak Tegar, dengan sekenanya dia menjawab "Aku mau kawin Mak. Aku mau kawin saja, biar lebih bersemangat menjalani hidup".

Astaga Tegar, semudah itukah kehidupan berjalan dan masalah diselesaikan? Cukup dengan lahir, besar, bekerja dan kemudian kawin? Bukankah orang-orang biasa mengatakan bahwa lahir, kawin, dan mati adalah tiga perkara besar yang menjadi misteri dalam hidup manusia? Oleh karenanya, itu harus disambut dengan prosesi penting, penuh perencanaan dan persiapan.

Sekalipun untuk mati, biasanya orang tidak berencana dengan pasti. Seringkali manusia justru menemui ajalnya pada waktu, tempat dan dengan cara yang tidak pernah direncanakannya. Pikiran Tegar berkecamuk.

"Baiklah, kalau itu yang jadi keputusanmu. Kami pun sebenarnya sudah mereka-reka jangan-jangan perkara kawin yang Kau risaukan, sehingga tidak pernah lagi kami lihat Kau serius melakukan apapun yang menjadi tanggung jawabmu" kata ibu Tegar.
"Hari sabtu ini persiapkan dirimu. Kita akan menyampaikan maksudmu ini kepada calon mertuamu. Rasanya dengan calon istrimu sudah pasti kau telah merencanakan maksud kalian ini dengan sebaik-baiknya" sambung ibu Tegar Lagi.

Maka terkejutlah Tegar. Seperti baru terbangun dari tidurnya, ia setengah tak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar dari ibunya dan apa yang telah ia ucapkan tadi di meja makan itu. Belum pernah dengan kekasihnya itu ia merencanakan dengan sungguh-sungguh mengenai rencana pernikahan. Apalagi dengan rencana sesegera ini.

Apalagi dengan calon bapak dan ibu mertuanya. Bertemu pun Tegar baru beberapa kali, itupun tidak pernah lama. Apalagi membahas tentang rencana menikahi anak perempuannya dalam waktu yang segera.

Begitulah hidup. Seperti sekotak coklat, kau tidak pernah bisa memilih dan menentukan apa yang akan kau dapatkan, kata Forrest Gump. Tidak selamanya semua hal dalam hidup berjalan dengan kehendak kita sendiri. Banyak hal yang menyangkut diri kita ikut ditentukan oleh keputusan orang-orang yang hidup bersama kita di dalam kotak kehidupan ini.

Maka perjalanan menemui calon mertua itu terus berlanjut, dengan perencanaan selanjutnya mengenai hari pelaksanaan pemberkatan pernikahan di gereja dan resepsi pesta adat. Bahkan hal-hal sepribadi terkait pernikahan pun akan dilangsungkan di hadapan banyak orang, baik secara agama di gereja maupun secara adat istiadat di balai adat.

Manusia memang sudah menyimpan dan melakukan berbagai hal yang akan tampak aneh bagi sebagian, tetapi tampak menjadi hal yang biasa bagi sebagian lainnya. Seperti mitos tentang tangan kanan sebagai tangan yang baik, sedangkan tangan kiri adalah tangan yang kurang baik.

Mitos itu hanya berlaku bagi orang yang merasa normal jika bekerja dengan tangan kanan. Sementara bagi orang yang terbiasa bekerja dengan tangan kiri, tak kurang normallah itu dari orang yang sebaliknya.

Maka dilangsungkanlah prosesi pernikahan itu dua hari dua malam lamanya, baik secara agama maupun secara adat istiadat. Itu adalah dua hari pada September 2007. Resmilah Tegar memperistri Erna, seorang wanita cantik yang sarjana ahli obat-obatan.

Bila baru saja Tegar merasa kehilangan, kehilangan kebersamaan dengan rekan kerja yang baru dikenalnya, kehilangan seorang kakek yang dicintainya seperti seorang bapak, pada hari itu Tegar kembali menemukan sukacita bersama pasangan hidup yang dicintainya. Cinta itu diikat dalam sebuah janji untuk bersama sampai maut memisahkannya, diucapkan di hadapan manusia dan Tuhan.

Bila logika dinamis Hegel sudah disadari Tegar jauh sebelum sukacita pernikahannya, bahwa dua konsep yang saling bertentangan akan selalu berdialektika melahirkan sintesa-sintesa pemikiran, maka harusnya di hari sukacita itu, Tegar sudah harus mampu mengantisipasi kemungkinan dialektika dua konsep sebagaimana Kierkegaard mengkritisi logika Hegel. Sintesa konsep-konsep hidup itu bukan saling mereduksi tetapi saling melengkapi dan bersifat kumulatif.

Setelah manusia menikmati estetika dan keindahan dalam hidup percintaan, seharusnya di tahap selanjutnya, manusia sudah menemukan pilihan-pilihan moral yang kuat untuk menjadi etika hidup yang akan dijalaninya. Akhirnya dia akan sampai ke tahap religius yang hanya mampu dialami secara pribadi lewat pengalaman-pengalamannya.

Tetapi idealisme seperti itu mungkin hanya akan berlaku di atas lembaran kertas teori yang tak melawan bila dihajar, tidak membentak bila disakiti. Hidup terlalu rumit bila dituliskan di atas selembar kertas, dan bukan kehidupan bila di dalamnya manusia tidak menemukan ironi dan paradoks. Benarlah bahwa bulan madu itu hanya sesaat, selanjutnya kehidupan nyata menunggu di ujung sana.

Dua bulan pernikahan Tegar sepertinya berjalan baik-baik saja, karena Tegar tinggal di kampung, sementara itu istrinya masih tinggal di ibukota Provinsi. Ia bekerja sebagai petugas penerima telefon di sebuah perusahaan penjual mobil mewah di kota. Karena itu perusahaan swasta, sebulan sebelum pengunduran dirinya karena harus ikut dengan suami, ia masih harus tetap bekerja menunggu manajemen mendapatkan penggantinya. Meskipun itu hanya seorang petugas penerima telefon, begitulah etika kerja dalam hidup pemilik toko itu.

Begitu dihargai setiap pekerjaan di swasta ini pikir Tegar, masih dalam kemalasannya untuk bekerja sebagai pegawai negeri. Bila diingatnya bagaimana seorang pimpinan menjemputnya secara paksa pada hari terkahir ia bekerja di kantor kecamatan tempat penugasan pertamanya, keesokan harinya ia harus sudah bekerja di tempat yang tak pernah dilamarnya. Membanding-bandingkan memang sudah menjadi salah satu sifat bawaan manusia yang terkadang berdampak kurang baik.

Seringkali hal itu membuat manusia menjadi serba tidak puas dan mensyukuri apa yang sudah ia punyai. Manusia seringkali mencari apa yang tidak ia punyai dan tanpa sadar melepaskan apa yang sudah ia raih.

Hidup sebagai suami istri di tempat yang terpisah tentu tidak membuka kesempatan bagi terbukanya kekurangan diri dari keduanya. Tegar yang ternyata masih berkutat di kemalasannya masih tetap saja berangkat tanpa tujuan dari rumah di pagi hari, dan sudah pulang saat hari belum usai untuk bekerja dan terkadang sore sekali menjelang malam.

Entah kemana, yang jelas ia tidak bekerja. Ia tidak menginjakkan kakinya lagi ke kantor PKK, hampir sudah dua bulan terakhir sejak pernikahannya.

Pada suatu sore yang sendu, Tegar sedang berdua bersama dengan Erna istrinya, yang kini telah berhenti bekerja dan sepenuhnya mengikuti suaminya, tinggal di rumah orang tua. Tanpa pekerjaan sudah dua minggu lamanya, sesekali istrinya mendapati Tegar yang membolos atau tekadang pulang lebih cepat dari seharusnya.

Saat itu Erna mungkin sudah mengandung anak Tegar, karena sering muntah-muntah tanpa sebab yang jelas. Melihat kenyataan itu, dan mengenang pemandangan atas beberapa orang calon PNS yang juga ibu menyusui, beberapa tahun yang lalu saat masih menjadi pegawai magang, sedikit mengetuk hati Tegar. Berpikirlah ia untuk berkata jujur kepada istrinya, "Saya sebenarnya sering membolos dari kerja" katanya.
"Sudah berapa lama seperti ini? Apakah sebelum kita menikah juga sudah begini atau setelahnya? Kalau setelahnya, mungkin akulah penyebabnya begitu, ya" kata Erna.
"Sebenarnya aku sudah begini kira-kira tiga bulan sebelum pernikahan kita" kata Tegar.
"Dan masih begitu sampai sekarang?" tanya Erna.
"Ya" jawab Tegar singkat.

Erna bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke meja rias di sebelah tempat tidur, duduk sebentar kemudian bangkit lagi dan berdiri di cermin pada lemari baju yang ada di kamar ukuran 4 kali 4 meter itu. Erna kelihatan gelisah, dan sebentar sudah mondar-mandir, kemudian masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar, mulai menangis dan berjongkok di depan closet di kamar mandi, seperti mau muntah.

"Lalu kenapa mengajak aku menikah? Kalau hanya untuk menyaksikan masalahmu dan menyeretku ke dalam persoalanmu sendiri rasanya itu adalah lamaran yang sangat kejam", Erna mulai bergetar dan menangis lebih terisak.

Tegar tidak menjawab, barangkali dia merasa bersalah dan sadar dengan kebenaran perkataan Erna. Ya, dia sangat kejam merenggut masa muda yang seharusnya penuh kebahagiaan seorang wanita yang baru saja menjadi sarjana dan sudah bekerja, meskipun hanya menjadi operator telefon di sebuah showroom penjual mobil di ibukota provinsi.

"Dua minggu seperti ini pun kini rasanya sudah sangat lama mendengar kamu mengaku seperti itu. Lalu sekarang mau apa? Apa mau terus seperti ini, sementara aku sekarang mungkin sudah mengandung anakmu? Mau jadi apa nanti dia kalau bapaknya sendiri orang lemah seperti ini? Ayo semangat!" Masih terasa kasih sayang dalam perkataan Erna. Bukan dimaksudkannya sebagai tuduhan yang merendahkan suaminya.

"Aku berpikir, walau tak mungkin mengulang ke masa lalu, aku merasa seharusnya ada banyak hal yang harus aku perbaiki sejak dari awal. Bukan menyangkut hubungan kita, tetapi lebih kepada masalah diriku sendiri. Mungkin aku belum selesai dalam mencari jati diri" Tegar menjawab dengan raut muka serius dan pandangannya ke langit-langit, seolah-olah bahwa masalahnya memang sangat berat, sekalipun itu menyangkut dirinya sendiri, soal jati diri.

"Sayangku, sadarlah. Kita sudah menjadi suami istri, dan sebentar lagi mungkin akan lahir anakmu. Kau bukan anak SMA lagi. Hahahahaha!!!! Ya Tuhan, aku tidak bisa membayangkan seorang suami, seorang calon bapak, masih memikirkan soal mencari jati diri. omong kosong!!! Aku tidak tahan seperti ini, aku bisa gila kalau menikah dengan laki-laki yang bahkan belum mengenal dirinya sendiri. Aku mau pergi!" Erna mengelap air mata yang mengalir di kedua pipinya sekenanya dengan tangan baju sweaternya. Lalu membenahi pakaian yang dikenakannya, mengambil tas jinjing yang biasanya dipakainya untuk bekerja, selanjutnya pergi, entah kemana.

Tegar tidak bergegas untuk menyusul istrinya dan menanyakan ia mau kemana. Barangkali ia pun merasa malu dengan dirinya sendiri, dan menyesal telah mengatakan hal yang konyol itu. Bahwa ia sedang mencari jati diri sehingga ia lari dari kenyataan hidup yang sedang dijalaninya, termasuk pekerjaan dan tanggung jawab membina keluarga kecilnya yang baru saja dibangunnya, tidak ada hal yang lebih konyol saat itu.

Barangkali begitulah dalam proses psikoanalisis akan dijelaskan, bahwa terkadang alam sadar manusia dikalahkan oleh kerja alam bawah sadar. Pengekangan yang kuat atas pengakuan alam bawah sadar melahirkan desakan yang semakin besar bagi seseorang untuk memunculkannya ke permukaan melalui sebuah kesaksian atau pengakuan yang mengejutkan bahkan terkadang konyol. Bukankah lebih baik bagi Tegar kalau ia menyimpan sendiri pencarian jati dirinya buat dirinya sendiri dan mencoba menghadapi kenyataan bahwa hidup tidak melulu soal memikirkan diri sendiri? Bahwa setiap pilihan akan berdampak tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga kepada semua orang yang sudah menjadi bagian dalam lingkaran kehidupannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun