Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menyusuri Elegi Seorang Hamba (Bagian 2)

25 April 2020   17:17 Diperbarui: 25 April 2020   17:35 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi : Pakaian Adat Pernikahan suku Karo (Dokpri)

Disamping peran akademiknya sebagai dosen dan peneliti, sehari-harinya ia juga adalah aktivis untuk sebuah lembaga swadaya masyarakat di bidang pemberdayaan perempuan.

"Saya bekerja di Tim Penggerak PKK" kata Tegar seakan tak percaya apa yang dikatakannya sendiri, telinganya memerah. Ia sepertinya tidak tenang menunggu reaksi dari temannya itu, yang sebagaimana orang-orang biasanya akan segera menertawakannya.

Bayangkan saja, unit kerja yang disebut Tegar sebagai "tim" itu memang adalah sebuah tim yang terdiri dari dua puluh enam orang, dimana dua puluh empat diantaranya memang ibu-ibu. Tegar adalah wakil sekretaris di tim itu.

Lelaki satu-satunya yang menjadi teman Tegar adalah seorang yang bekerja di dinas kesehatan. Tegar sendiri sebenarnya bekerja di Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, disamping tugas tambahannya sebagai anggota tim penggerak PKK. Maka tak pelak lagi, setiap ditanya apa pekerjaannya, Tegar lebih memilih mengatakan anggota tim penggerak PKK, karena sudah jenuh diledek terus oleh teman-teman dan orang-orang yang bertanya.

Ibu-ibu di tim itu rata-rata sudah cukup berumur. Kiprah mereka sudah sejak masa pemerintahan orde baru, dan mereka sangat sarat dengan pengalaman. Sebagian ada yang pensiunan pegawai, sebagian lagi adalah istri-istri mantan pejabat.

Kalau Tegar membayangkan akan kembali diledek temannya yang bertanya itu, tetapi ternyata sebaliknya. Dengan raut serius temannya itu berkata "Tahu kau apa bedanya kegiatan di PKK dengan koalisi perempuan yang saya ikut didalamnya Gar?" tanya temannya itu.
"Apa?" tanya Tegar.

"Sesuai hasil risetku, biasanya ibu-ibu PKK akan mencari desa-desa yang tidak terlalu jauh dari kota dan masyarakatnya sudah agak maju untuk dijadikan desa binaan atau desa percontohan. Kalau kami di koalisi lebih memilih desa yang paling terbelakang dan masyarakatnya yang paling bodoh untuk diberdayakan. Kami lebih suka menyebutnya diberdayakan ketimbang dibina, karena alih-alih dibina, beberapa pemerintah bahkan terkadang sadar atau tidak malah membinasakan warganya, betul tidak Gar?" tanya temannya itu.

Tegar terpaku mendengar celoteh temannya itu. Tidak ada nada menghina dalam intonasi suara temannya itu, bahkan Tegar bisa merasakan ada benarnya sesuai pengalamannya sendiri melihat desa-desa percontohan yang sudah pernah dikunjunginya bersama ibu-ibu PKK selama kurang dari setahun ini.

Bangkit dari Kematian Kakek

Kesadaran yang timbul dari perbincangan dengan seorang teman itu tidak cukup kuat untuk mendongkrak semangat kerja Tegar, yang telah tersesat dalam labirin jalan pikirannya sendiri. Ia termakan stigma negatif dari orang-orang, karena merasa dihukum dengan "tugas berat" membantu ibu-ibu "pemberdaya" keluarga di desa-desa.

Begitulah ia berpikir setiap hari. Hingga di suatu hari, Tegar mendapat telefon dari ibunya bahwa kakeknya dari ibunya yang sudah sakit belakangan ini dan keluar masuk di rawat di rumah sakit, akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun