Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menyusuri Elegi Seorang Hamba (Bagian 2)

25 April 2020   17:17 Diperbarui: 25 April 2020   17:35 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi : Pakaian Adat Pernikahan suku Karo (Dokpri)

"Kau lihat Tegar? Beginilah pemerintahan ini sekarang dikelola. Orang bukannya dikasih kerja sesuai bidangnya, tetapi seenak perutnya comot sana sini sesuka mereka". Tak jelas siapa yang dimaksud pak camat dengan kata mereka. Namun, bukankah ketidakjelasan memang hal yang biasa dalam kesadaran akan eksistensi manusia?

Belum lagi paham apa gunanya bekerja di tugasnya yang sekarang, ia malah harus pindah lagi ketempat yang baru. "Iya Pak" kata Tegar dengan perasaan berkecamuk, tidak tahu lagi mau berkata apa.

Agaknya tamu yang diutus untuk menjemput si Tegar itu bukan orang sembarangan. Sekalipun pak camat sangat kesal dengan surat yang diterimanya siang itu, pada hari itu juga tetap diadakan acara perpisahan sederhana di aula tengah kantor itu. Ruangan itu sungguh sangat sesak karena difungsikan juga sebagai gudang beras miskin (raskin), sebelum diangkut oleh masing-masing kepala desa untuk disalurkan ke warganya.

Pegawai yang selusin itu dikumpulkan di aula. Setiap orang duduk di kursi plastik, pak camat menyampaikan isi surat dan maksud pertemuan mendadak pada sore itu. Para pegawai mengangguk-angguk mendengarkan ceramah pak camat dan sebagian lagi mencuri pandang ka arah Tegar yang duduk di samping pak Camat. Seakan mereka juga bertanya-tanya apa yang terjadi sehingga orang ini buru-buru sekali mau hengkang dari tempat ini.

"Jadi, terimakasih kita ucapkan kepada si Tegar atas pengabdiannya selama empat bulan bersama-sama dengan kita di tempat ini" kata pak Camat yang tampak menyampaikannya dengan tulus. Tetapi mendengar isi kalimatnya, cukuplah bagi Tegar untuk menertawakan dirinya sendiri. Pengabdian apa yang telah diberikan oleh seorang pegawai pemula, yang masih seumur jagung dan tanpa pengalaman, di sebuah kantor kecamatan selama empat bulan? Tapi sudahlah, toh semua ini bukan permintaan sendiri, demikian batin Tegar.

Disamping acara itu, sebelum meninggalkan kantor, Tegar berpamitan kepada teman-temannya, yang sebagiannya sudah dianggap seperti ibu dan kakak oleh Tegar. Entah bagaimana, konstruksi sosial di masyarakat kampung ini memang terkadang aneh. Suasana sendu dalam perpisahan itu terasa lebih cocok dikemukakan kepada wanita dari pada laki-laki. Sikap keibuan seorang wanita menjadi faktor yang membuat anak-anak lebih merasa dekat dengan ibunya, terutama di saat adanya pergumulan batin. Sebagian laki-laki memang juga memiliki sikap keibuan.

Tak kurang dari bu Ani, bu Dama, bu Reni, bu Kiki dan tentu saja bu Wulan turut menyatakan salam perpisahan. Padahal masih masa-masa awal perkenalan dengan tugas. Ibu-ibu itu juga menyelipkan pesan-pesan dan harapan agar di tempat kerja yang baru, Tegar bisa lebih baik dan sukses.

Hal-hal klise sebagaimana halnya dalam pertemuan dan perpisahan dimana-mana, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia memang makhluk yang merasa saling terkait dengan manusia lainnya. Sekalipun bukan keluarga biologis, hubungan antar manusia dalam dunia kerja telah menciptakan sebuah hubungan yang meliputi berbagai aspek, sosial, psikologis maupun inderawi, yang bukan saja sulit tetapi memang tak dapat diputuskan begitu saja sekali itu tercipta.

Dalam kehidupan kita dapat menyaksikan bagaimana warga satu dusun bisa bergotong royong mencari jasad dari seorang korban kecelakaan yang terjadi di dusunnya, sekalipun itu bukan warganya. Kita juga dapat melihat bagaimana seseorang bisa ikut meneteskan air mata menyaksikan isak tangis dari anak dan istri yang ditinggal mati suaminya dalam usia yang masih sangat muda. Atau bagaimana kita merasa ada yang kurang saat berada di ruang kerja, sementara teman yang biasa duduk di sebelah kita dan berbicara kepada kita hari ini besoknya sudah tiada.

Manusia biasa berkerumun dan berkumpul berduyun-duyun manakala tersentuh kemanusiaannya. Tapi ini bukan perpisahan karena kematian, hanya pindah tugas. Jadi tidak perlu perenungan yang sedalam itu. Begitulah seterusnya kehidupan harus berjalan.

Pernah suatu ketika, seorang teman, Oga, bertanya kepada Tegar apa perkerjaannya. Teman ini adalah seorang feminis, yang tidak pernah punya keinginan berumah tangga. Dengan tubuh yang kurus, tapi kelihatan pintar dari parasnya, dan sangat bersemangat dengan gairah intelektualitasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun