Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menyusuri Elegi Seorang Hamba (Bagian 2)

25 April 2020   17:17 Diperbarui: 25 April 2020   17:35 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi : Pakaian Adat Pernikahan suku Karo (Dokpri)

Pada suatu sore yang sendu, Tegar sedang berdua bersama dengan Erna istrinya, yang kini telah berhenti bekerja dan sepenuhnya mengikuti suaminya, tinggal di rumah orang tua. Tanpa pekerjaan sudah dua minggu lamanya, sesekali istrinya mendapati Tegar yang membolos atau tekadang pulang lebih cepat dari seharusnya.

Saat itu Erna mungkin sudah mengandung anak Tegar, karena sering muntah-muntah tanpa sebab yang jelas. Melihat kenyataan itu, dan mengenang pemandangan atas beberapa orang calon PNS yang juga ibu menyusui, beberapa tahun yang lalu saat masih menjadi pegawai magang, sedikit mengetuk hati Tegar. Berpikirlah ia untuk berkata jujur kepada istrinya, "Saya sebenarnya sering membolos dari kerja" katanya.
"Sudah berapa lama seperti ini? Apakah sebelum kita menikah juga sudah begini atau setelahnya? Kalau setelahnya, mungkin akulah penyebabnya begitu, ya" kata Erna.
"Sebenarnya aku sudah begini kira-kira tiga bulan sebelum pernikahan kita" kata Tegar.
"Dan masih begitu sampai sekarang?" tanya Erna.
"Ya" jawab Tegar singkat.

Erna bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke meja rias di sebelah tempat tidur, duduk sebentar kemudian bangkit lagi dan berdiri di cermin pada lemari baju yang ada di kamar ukuran 4 kali 4 meter itu. Erna kelihatan gelisah, dan sebentar sudah mondar-mandir, kemudian masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar, mulai menangis dan berjongkok di depan closet di kamar mandi, seperti mau muntah.

"Lalu kenapa mengajak aku menikah? Kalau hanya untuk menyaksikan masalahmu dan menyeretku ke dalam persoalanmu sendiri rasanya itu adalah lamaran yang sangat kejam", Erna mulai bergetar dan menangis lebih terisak.

Tegar tidak menjawab, barangkali dia merasa bersalah dan sadar dengan kebenaran perkataan Erna. Ya, dia sangat kejam merenggut masa muda yang seharusnya penuh kebahagiaan seorang wanita yang baru saja menjadi sarjana dan sudah bekerja, meskipun hanya menjadi operator telefon di sebuah showroom penjual mobil di ibukota provinsi.

"Dua minggu seperti ini pun kini rasanya sudah sangat lama mendengar kamu mengaku seperti itu. Lalu sekarang mau apa? Apa mau terus seperti ini, sementara aku sekarang mungkin sudah mengandung anakmu? Mau jadi apa nanti dia kalau bapaknya sendiri orang lemah seperti ini? Ayo semangat!" Masih terasa kasih sayang dalam perkataan Erna. Bukan dimaksudkannya sebagai tuduhan yang merendahkan suaminya.

"Aku berpikir, walau tak mungkin mengulang ke masa lalu, aku merasa seharusnya ada banyak hal yang harus aku perbaiki sejak dari awal. Bukan menyangkut hubungan kita, tetapi lebih kepada masalah diriku sendiri. Mungkin aku belum selesai dalam mencari jati diri" Tegar menjawab dengan raut muka serius dan pandangannya ke langit-langit, seolah-olah bahwa masalahnya memang sangat berat, sekalipun itu menyangkut dirinya sendiri, soal jati diri.

"Sayangku, sadarlah. Kita sudah menjadi suami istri, dan sebentar lagi mungkin akan lahir anakmu. Kau bukan anak SMA lagi. Hahahahaha!!!! Ya Tuhan, aku tidak bisa membayangkan seorang suami, seorang calon bapak, masih memikirkan soal mencari jati diri. omong kosong!!! Aku tidak tahan seperti ini, aku bisa gila kalau menikah dengan laki-laki yang bahkan belum mengenal dirinya sendiri. Aku mau pergi!" Erna mengelap air mata yang mengalir di kedua pipinya sekenanya dengan tangan baju sweaternya. Lalu membenahi pakaian yang dikenakannya, mengambil tas jinjing yang biasanya dipakainya untuk bekerja, selanjutnya pergi, entah kemana.

Tegar tidak bergegas untuk menyusul istrinya dan menanyakan ia mau kemana. Barangkali ia pun merasa malu dengan dirinya sendiri, dan menyesal telah mengatakan hal yang konyol itu. Bahwa ia sedang mencari jati diri sehingga ia lari dari kenyataan hidup yang sedang dijalaninya, termasuk pekerjaan dan tanggung jawab membina keluarga kecilnya yang baru saja dibangunnya, tidak ada hal yang lebih konyol saat itu.

Barangkali begitulah dalam proses psikoanalisis akan dijelaskan, bahwa terkadang alam sadar manusia dikalahkan oleh kerja alam bawah sadar. Pengekangan yang kuat atas pengakuan alam bawah sadar melahirkan desakan yang semakin besar bagi seseorang untuk memunculkannya ke permukaan melalui sebuah kesaksian atau pengakuan yang mengejutkan bahkan terkadang konyol. Bukankah lebih baik bagi Tegar kalau ia menyimpan sendiri pencarian jati dirinya buat dirinya sendiri dan mencoba menghadapi kenyataan bahwa hidup tidak melulu soal memikirkan diri sendiri? Bahwa setiap pilihan akan berdampak tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga kepada semua orang yang sudah menjadi bagian dalam lingkaran kehidupannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun