Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menyusuri Elegi Seorang Hamba (Bagian 2)

25 April 2020   17:17 Diperbarui: 25 April 2020   17:35 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi : Pakaian Adat Pernikahan suku Karo (Dokpri)

Baru saja Tegar mengalami perpisahan dengan rekan kerjanya di kecamatan, kali ini dia harus berpisah dengan kakek dari ibunya. Itu adalah perpisahan dalam artian yang sebenarnya. Berpisah dari kehidupan melalui kematian.

Bagi Tegar, kakek adalah bapak masa kecilnya. Ia yang mengajarkan tindakan praktis dalam kehidupan; bertani, berenang, memelihara ternak, mencintai kehidupan di ladang-ladang, di sawah-sawah, di sungai dan di gunung.

Itu semua adalah kenangan Tegar saat ia masih di sekolah dasar, terpisah dengan orang tua yang ada di lain kampung. Pernah suatu ketika, kakeknya berkata bahwa Tegar cucunya akan menjadi seorang pegawai yang baik suatu hari nanti. Kakeknya adalah seorang pensiunan guru SD di kampung, yang meminta pensiun dini untuk kembali membajak di ladang.

Dialektika kehidupan yang mempertentangkan antara harapan dan kenyataan ternyata datang sangat segera dalam masa kehidupan yang sangat singkat ini, gumam Tegar dalam hatinya. Tegar mengusap titik air mata yang mengalir dari pelupuk mata ke sisi pipinya.

Kakeknya yang pensiun dini dari guru SD untuk bisa fokus bertani, membanting tulang mencari uang membiayai kuliah anak-anaknya, ternyata harus berakhir di kasur lapuk rumah sakit, oleh penyakit yang mungkin telah sangat lama menggerogoti tubuhnya.

Barangkali meskipun kini Tegar cucunya, yang lulusan sekolah pamong pemerintahan di Bandung sudah bekerja, mungkin bukanlah seorang pegawai yang baik seperti harapannya. Nyatanya Tegar kini bekerja di PKK. Maafkan aku, bisik Tegar lirih kepada telinganya sendiri.

Upacara penguburan kakek Tegar telah selesai. Para kerabat yang beberapa hari berkabung di sekitar jenazah di rumah kakeknya, yang datang berduyun-duyun dari beberapa kampung sekitar kini telah kembali ke rumahnya masing-masing.

Manusia tetap dimuliakan oleh sesamanya sekalipun dalam matinya. Mereka datang meratap menyatakan dukacitanya, sekalipun mereka adalah pribadi-pribadi yang terpisah dalam kesehariannya. Sekalipun terpisah, beberapa manusia adalah pribadi-pribadi yang selalu menyatu dalam jiwanya. Kehidupan harus kembali ke jalan kesehariannya sekalipun seorang-seorang diantaranya akan mati juga dalam perjalanannya. Tegar pun kembali bekerja, seperti biasanya, tetapi makin kecut dengan semangatnya.

Pada suatu malam seusai makan malam, Rubini ibu Tegar, bertanya kepada Tegar perihal kelesuan anak sulungnya. "Nak, kenapa belakangan ini kok ibu lihat Kau menjadi semakin pemurung saja? Sehat Kau Nak? Jangan-jangan Kau bertengkar dengan pacarmu ya?" tanya ibu.

Dua tahun belakangan ini, Tegar memang berpacaran dengan Ella, teman wanita semasa SMA.

"Tidak Mak. Nggak ada apa-apa, hanya lesu karena letih saja. Nanti juga setelah istirahat segar sendiri" kata Tegar.
"Jangan berbohong sama ibu. Aku lihat Kau juga sering tidak masuk kerja. Terkadang juga pulang ke rumah saat masih jam kerja. Tidak bagus orang tidak semangat bekerja seperti itu" sambung ibu Tegar.
"Sudahlah Mak. Nanti juga semangat lagi" kata Tegar beranjak dari meja makan dengan alasan mau beristirahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun