Aku juga mengenal baik Bu Tari seorang janda yang ditinggal mati suaminya lima tahun lalu, karena dia sering datang ke rumah Niar hanya untuk quality time bersama almarhumah ibu.
Niar menitikkan air mata, aku tidak tau apa yang dipikirkannya tapi tangannya sampai bergetar memegang surat itu. Tanpa suara di masuk begitu saja meninggalkan aku dan Ayah di teras.
"Aku menyusul Niar dulu, ayah" ujarku, tapi ayah mencegah.
"Nak, ayah minta tolong sama kamu yakinkan Niar, ya. Bagaimanapun juga bukan ayah yang egois, ayah hanya ingin menunaikan wasiat ibu. Tolong, ya, Nak," pinta ayah, aku hanya menjawab seadanya.
"Akan Rara usahakan, Ayah"
Aku yakin Niar tidak membenci siapapun, hanya saja dia belum bisa berdamai dengan kepergian ibu yang sangat memanjakannya, aku saja bisa merasakan bagaimana ibu memanjakan kami berdua, bahkan dia sering membelikan baju yang sama untukku dan Niar, sehingga aku bisa merasakan kasih sayang orang tua dari ayah dan ibu Niar.
Aku menyusul Niar di kamar, dia menangis menutup wajahnya dengan bantal agar suara tangisnya tidak terdengar, lagi-lagi aku hanya bisa mengusap punggungnya untuk menenangkan.
"Sebenarnya aku tidak membenci siapapun, Ra. Tapi aku sedih karena kepergian ibu secepat itu ayah menerima wanita lain, walaupun itu wasiat ibu kan bisa menunggu waktu dulu," ujarnya di sela-sela tangisnya.
Kebiasaan Niar adalah setelah menangis lama dia akan tertidur karena kelelahan, aku memilih keluar kamarnya dan menuju dapur di sana aku melihat Bu Tari sedang berkutat dengan bahan-bahan memasak.
"Eh, Nak Rara" sapanya dengan tersenyum, aku juga membalasnya dengan senyuman.
"Iya, Bu. Lagi masak apa, Bu?"