"Ceritakan, lah. Aku selalu bersedia mendengarkan ceritamu," ujarku kemudian. Setelah sedikit tenang akhirnya Niar mulai bercerita.
"Tadi saat ayah mengatakan rencana itu tentu kami sangat syok apalagi selama ini ayah dan ibu sangat romantis, kamu lihat sendiri juga, kan?. Mereka berdua terlihat sangat menyayangi, bahkan kalau ada masalah selalu didiskusikan untuk mencari solusi. Kenapa secepat itu ayah berpaling? Mungkin kalau ayah ingin menikah lagi setelah setahun kepergian ibu, kami tidak akan melarang, tapi tapi ini masih seminggu ya Allah, aku ga tau harus gimana lagi, aku harus gimana, Ra?"
Jujur aku juga syok mendengar ucapan Niar, aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya. Tidak banyak yang ingin punya ibu tiri tapi seorang pria yang telah ditinggal mati istrinya memang butuh sekali seorang istri.
"Ra, coba, deh kamu pikirkan kenapa ayah secepat itu Ingin menikah lagi? Padahal padahal ah sudahlah "ucapnya terbata karena tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Nenek datang dari pasar, dia heran melihat kami yang kini sedang berpelukan.
"Kenapa, Niar?" Suara lembut nenek membuat Niar beralih memeluk nenek. Nenek juga mengusap punggung Niar memberi ketenangan.
Niar menceritakan seperti yang dia cerita padaku barusan. Nenek hanya bisa menenangkan karena tidak mungkin bisa menghalangi apapun keputusan ayahnya Niar.
"Sabar ya, Cu. Itu masih sekedar rencana ayahmu, kan? Mana tau ga jadi"
"Tidak, Nek. Malah ayah akan memperkenalkan ke kami malam ini, aku harus gimana, Nek? Aku ga mau pulang ke rumah."
"Yaudah ayo masuk dulu, Rara tolong bawain belanja nenek, ya"
"Baik, Nek " jawabku mengiyakan ucapan nenek. Kami masuk ke dalam rumah sederhana ini, nenek masih berusaha menenangkan Niar hingga dia ketiduran di ruang tamu. Saat Niar tertidur aku dan nenek memasak untuk makan malam.