Mohon tunggu...
Seri Bulan Siregar
Seri Bulan Siregar Mohon Tunggu... Hanya warga sipil biasa

Mengabadikan setiap moment dalam bentuk tulisan. (⚠️ Blog ini bersisi tulisan random berupa Artikel, Cerpen dan puisi) Terima kasih yang berkenan mampir dan membaca 🙏

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wasiat Ibu untuk Ayah | Sebuah Cerpen

21 Juni 2025   22:49 Diperbarui: 21 Juni 2025   22:49 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tau bagaimana sakitnya ditinggal orang tua untuk selamanya, walaupun kala itu aku masih kecil tapi aku sudah punya kenangan dan memori tentang ayah dan ibuku. Pasti setelahnya akan ada jarak diantara Niar dan ayahnya, takutnya calon mamanya tidak bisa mengambil hati Niar yang sedikit keras kepala ( apalagi saat ini kami belum tau siapa calon istri baru ayahnya) Aku masih mengingat bagaimana kedekatan Niar dan ayahnya dan juga aku, dulu sejak kecil kami sudah terbiasa mendengarkan cerita islami oleh ayah, yang paling aku ingat dari ceritanya adalah kisah teladan para nabi, sahabat dan juga kisah-kisah islami orang-orang terdahulu. Bahkan sampai sekarang aku masih menyimpan cerita itu di memoriku.

Aku menyeka air mataku yang tiba-tiba menetes tanpa sadar. Menyadari itu nenek menghampiriku.

"Kenapa menangis? Hmm?"

"Aku kasihan melihat Niar, Nek."

"Padahal harusnya kamu yang lebih kasihan, dia masih punya orang tua. Kita doakan saja semoga semuanya baik-baik saja setelah ini"

Benar kata nenek, Aku yang memang harusnya lebih kasihan. 

Aku dan nenek memilih fokus untuk memasak karena sebentar lagi akan azan Maghrib. Setelahnya aku membangunkan Niar untuk mandi dan sholat Maghrib terlebih dahulu.

Aku bisa melihat Niar menghabiskan lebih banyak waktu di rumah sejak pernikahan ayah dan ibu barunya, bahkan dia jadi jarang pulang ke rumah. Aku sudah kenal ibu barunya yang merupakan sahabat Ibu kandungnya. Walaupun selama ini Niar mengenal baik Bu Tari tapi dia masih enggan untuk memanggil 'Ibu'. Bu Tari sebenarnya baik, dia bisa mengambil hati Rahim adiknya Niar. Tapi ga tau bisa tidaknya mengambil hati Niar. Karena sahabatku itu sangat keras kepala.

Hari ini, Niar mengajakku ke rumahnya untuk mengambil beberapa baju dan juga buku sekolah, ternyata Ayah ada di teras rumah sedang menyeruput kopi sambil membaca koran. Melihat kedatangan kami, ayah menyuruh agar kami duduk di depannya.

"Niar," panggilan ayah masih belum ada respon Niar, dia masih menunduk dan acuh tak acuh.

"Ayah tau kalian kecewa, tapi inilah pesan ibumu." Ayah menyodorkan sebuah surat kepada Niar, Berlahan dia membukanya lalu membacanya, aku yang duduk di sampingnya juga ikut membaca yang intinya adalah inilah wasiat terakhir ibu sebelum meninggal bahwa ayah harus menikahi sahabatnya-bu Tari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun