"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak."
(Q.S Al-isra ayat 23)
Aku sedang sibuk menata bunga-bunga di potnya dan sekarang hendak mengambil air untuk menyiram bunga, namun aku menghentikan aktivitas itu karena melihat seseorang yang sangat kukenal datang dengan wajahnya terlihat sembab habis menangis dan jalannya juga sempoyongan. Aku menghampirinya karena takut ada sesuatu yang terjadi lagi.
"Niar, ada apa? Kenapa kamu seberantakan ini?" Tanyaku memeluknya berusaha menenangkan, apalagi sekarang dia semakin menangis kencang.
Dia belum menjawab, aku masih berusaha menenangkan dengan mengusap punggung belakangnya, setelah sedikit tenang Niar mulai bercerita walaupun masih kurang jelas karena dia bercerita sambil menangis.
"Kenapa, Niar?"
"Ra, ayah ingin menikah lagi." kalimat singkat mampu membuatku bungkam. Sebenarnya tidak masalah jika ayahnya ingin menikah lagi, tapi kondisinya di sini kurang mendukung, baiklah akan kuceritakan tentang keluarganya Niar-sahabatku.
Jadi, aku dan Niar itu satu desa sudah bersahabat sejak kecil hingga sekarang umur kami 17 tahun. Kami begitu dekat karena saking dekatnya kami sudah biasa makan, tidur atau bebas di rumahku atau di rumahnya. Bahkan Aku selalu memanggil ayahnya dengan ayah juga begitupun dengan ibunya yang biasa kupanggil ibu juga, karena memang kedua orang tuaku sudah berpulang saat aku masih SD, dan sekarang aku tinggal bersama nenek dan juga Ali adikku. Makanya aku sangat senang karena ada sosok yang kupanggil ayah dan ibu apalagi mereka juga menganggap aku anak mereka, sehingga kedekatanku dengan Niar layaknya anak kembar yang begitu akrab.
Bu Ida atau mamanya Niar meninggal seminggu yang lalu karena sakit, halnya dengan Niar, aku juga seolah kehilangan ibu, kami berusaha saling menguatkan dan saling mendukung. Selama seminggu ini, aku masih sering ke rumah mereka untuk memantau Niar agar tidak sering murung dan melamun. Apalagi kalau masih seminggu sejak kepergian keluarga sendiri pastinya masih ada rasa susah melupakan terutama ibu sendiri.
"Ceritakan, lah. Aku selalu bersedia mendengarkan ceritamu," ujarku kemudian. Setelah sedikit tenang akhirnya Niar mulai bercerita.
"Tadi saat ayah mengatakan rencana itu tentu kami sangat syok apalagi selama ini ayah dan ibu sangat romantis, kamu lihat sendiri juga, kan?. Mereka berdua terlihat sangat menyayangi, bahkan kalau ada masalah selalu didiskusikan untuk mencari solusi. Kenapa secepat itu ayah berpaling? Mungkin kalau ayah ingin menikah lagi setelah setahun kepergian ibu, kami tidak akan melarang, tapi tapi ini masih seminggu ya Allah, aku ga tau harus gimana lagi, aku harus gimana, Ra?"
Jujur aku juga syok mendengar ucapan Niar, aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya. Tidak banyak yang ingin punya ibu tiri tapi seorang pria yang telah ditinggal mati istrinya memang butuh sekali seorang istri.
"Ra, coba, deh kamu pikirkan kenapa ayah secepat itu Ingin menikah lagi? Padahal padahal ah sudahlah "ucapnya terbata karena tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Nenek datang dari pasar, dia heran melihat kami yang kini sedang berpelukan.
"Kenapa, Niar?" Suara lembut nenek membuat Niar beralih memeluk nenek. Nenek juga mengusap punggung Niar memberi ketenangan.
Niar menceritakan seperti yang dia cerita padaku barusan. Nenek hanya bisa menenangkan karena tidak mungkin bisa menghalangi apapun keputusan ayahnya Niar.
"Sabar ya, Cu. Itu masih sekedar rencana ayahmu, kan? Mana tau ga jadi"
"Tidak, Nek. Malah ayah akan memperkenalkan ke kami malam ini, aku harus gimana, Nek? Aku ga mau pulang ke rumah."
"Yaudah ayo masuk dulu, Rara tolong bawain belanja nenek, ya"
"Baik, Nek " jawabku mengiyakan ucapan nenek. Kami masuk ke dalam rumah sederhana ini, nenek masih berusaha menenangkan Niar hingga dia ketiduran di ruang tamu. Saat Niar tertidur aku dan nenek memasak untuk makan malam.
Aku tau bagaimana sakitnya ditinggal orang tua untuk selamanya, walaupun kala itu aku masih kecil tapi aku sudah punya kenangan dan memori tentang ayah dan ibuku. Pasti setelahnya akan ada jarak diantara Niar dan ayahnya, takutnya calon mamanya tidak bisa mengambil hati Niar yang sedikit keras kepala ( apalagi saat ini kami belum tau siapa calon istri baru ayahnya) Aku masih mengingat bagaimana kedekatan Niar dan ayahnya dan juga aku, dulu sejak kecil kami sudah terbiasa mendengarkan cerita islami oleh ayah, yang paling aku ingat dari ceritanya adalah kisah teladan para nabi, sahabat dan juga kisah-kisah islami orang-orang terdahulu. Bahkan sampai sekarang aku masih menyimpan cerita itu di memoriku.
Aku menyeka air mataku yang tiba-tiba menetes tanpa sadar. Menyadari itu nenek menghampiriku.
"Kenapa menangis? Hmm?"
"Aku kasihan melihat Niar, Nek."
"Padahal harusnya kamu yang lebih kasihan, dia masih punya orang tua. Kita doakan saja semoga semuanya baik-baik saja setelah ini"
Benar kata nenek, Aku yang memang harusnya lebih kasihan.
Aku dan nenek memilih fokus untuk memasak karena sebentar lagi akan azan Maghrib. Setelahnya aku membangunkan Niar untuk mandi dan sholat Maghrib terlebih dahulu.
Aku bisa melihat Niar menghabiskan lebih banyak waktu di rumah sejak pernikahan ayah dan ibu barunya, bahkan dia jadi jarang pulang ke rumah. Aku sudah kenal ibu barunya yang merupakan sahabat Ibu kandungnya. Walaupun selama ini Niar mengenal baik Bu Tari tapi dia masih enggan untuk memanggil 'Ibu'. Bu Tari sebenarnya baik, dia bisa mengambil hati Rahim adiknya Niar. Tapi ga tau bisa tidaknya mengambil hati Niar. Karena sahabatku itu sangat keras kepala.
Hari ini, Niar mengajakku ke rumahnya untuk mengambil beberapa baju dan juga buku sekolah, ternyata Ayah ada di teras rumah sedang menyeruput kopi sambil membaca koran. Melihat kedatangan kami, ayah menyuruh agar kami duduk di depannya.
"Niar," panggilan ayah masih belum ada respon Niar, dia masih menunduk dan acuh tak acuh.
"Ayah tau kalian kecewa, tapi inilah pesan ibumu." Ayah menyodorkan sebuah surat kepada Niar, Berlahan dia membukanya lalu membacanya, aku yang duduk di sampingnya juga ikut membaca yang intinya adalah inilah wasiat terakhir ibu sebelum meninggal bahwa ayah harus menikahi sahabatnya-bu Tari.
Aku juga mengenal baik Bu Tari seorang janda yang ditinggal mati suaminya lima tahun lalu, karena dia sering datang ke rumah Niar hanya untuk quality time bersama almarhumah ibu.
Niar menitikkan air mata, aku tidak tau apa yang dipikirkannya tapi tangannya sampai bergetar memegang surat itu. Tanpa suara di masuk begitu saja meninggalkan aku dan Ayah di teras.
"Aku menyusul Niar dulu, ayah" ujarku, tapi ayah mencegah.
"Nak, ayah minta tolong sama kamu yakinkan Niar, ya. Bagaimanapun juga bukan ayah yang egois, ayah hanya ingin menunaikan wasiat ibu. Tolong, ya, Nak," pinta ayah, aku hanya menjawab seadanya.
"Akan Rara usahakan, Ayah"
Aku yakin Niar tidak membenci siapapun, hanya saja dia belum bisa berdamai dengan kepergian ibu yang sangat memanjakannya, aku saja bisa merasakan bagaimana ibu memanjakan kami berdua, bahkan dia sering membelikan baju yang sama untukku dan Niar, sehingga aku bisa merasakan kasih sayang orang tua dari ayah dan ibu Niar.
Aku menyusul Niar di kamar, dia menangis menutup wajahnya dengan bantal agar suara tangisnya tidak terdengar, lagi-lagi aku hanya bisa mengusap punggungnya untuk menenangkan.
"Sebenarnya aku tidak membenci siapapun, Ra. Tapi aku sedih karena kepergian ibu secepat itu ayah menerima wanita lain, walaupun itu wasiat ibu kan bisa menunggu waktu dulu," ujarnya di sela-sela tangisnya.
Kebiasaan Niar adalah setelah menangis lama dia akan tertidur karena kelelahan, aku memilih keluar kamarnya dan menuju dapur di sana aku melihat Bu Tari sedang berkutat dengan bahan-bahan memasak.
"Eh, Nak Rara" sapanya dengan tersenyum, aku juga membalasnya dengan senyuman.
"Iya, Bu. Lagi masak apa, Bu?"
"Ini mau masak capcay kuah kesukaan Niar. Oh, ya, nak Rara suka apa biar sekalian dimasakin juga?" Tanya Bu Tari.
"Rara mah ga pilih-pilih makanan, Bu semuanya suka. Kalau begitu Rara bantu ya, Bu" selama memasak, aku mengobrol banyak hal dengan Bu Tari, dia seperti yang kukenal selama ini, ramah baik dan terlihat sangat penyayang. Aku tau dia juga menyayangi Niar, hanya saja Niar yang belum bisa menerima.
"Sabar ya, Bu, secara berlahan nanti semoga Niar bisa menerima ibu," ucapku penuh keyakinan.
"Terima kasih ya, Nak"
Benar saja, setelah cukup lama membujuk dan meyakinkan Niar, lambat laun dia mulai betah di rumahnya lagi, apalagi Bu Tari yang berusaha keras membujuknya, itulah yang aku lihat selama ini. Aku merasa bersyukur karena melihatnya mulai ceria kembali walau tidak seceria dulu.
Niar pernah bilang kalau dia akan menurunkan egonya dan berusaha berdamai dengan apa yang ditakdirkan pada hidupnya, berusaha ikhlas dan berusaha meyakinkan diri semua yang ada pada hidupnya adalah hal terbaik yang Allah percayakan untuk dia jalani. Dan benar saat ikhlas menjalaninya tentu hal baik juga akan diterima.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI