Mohon tunggu...
Seri Bulan Siregar
Seri Bulan Siregar Mohon Tunggu... Hanya warga sipil biasa

Mengabadikan setiap moment dalam bentuk tulisan. (⚠️ Blog ini bersisi tulisan random berupa Artikel, Cerpen dan puisi) Terima kasih yang berkenan mampir dan membaca 🙏

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bicara Tanpa Suara | Sebuah Cerpen

20 Juni 2025   21:27 Diperbarui: 20 Juni 2025   21:33 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poto buku judul Bicara Tanpa Suara: Sumber Dokumentasi Pribadi 

"Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman."

(Q.S Ali Imran ayat 139)

Aku mengenal sosok ayah adalah orang yang pekerja keras, pendiam dan jarang sekali mengeluarkan suara. Setiap kali ingin mengajak ayah mengobrol ada saja alasan beliau untuk mengelak. Pernah suatu ketika, Aku bertanya bagaimana pendapat ayah sekolah mana yang harus dipilih setelah lulus SMP, "Tergantung kamu" itulah jawaban singkat ayah, yang sempat membuatku dilema karena banyak SMA yang kuincar, andai saja ayah mau memberi saran pasti akan kupilih mana yang beliau pilih. Andaikan masih ada emak. Tapi ah sudahlah, aku sedikit kecewa dengan itu.

Ada lagi hal yang paling membuat kecewa adalah, setiap semester aku selalu berhasil mendapatkan nilai bagus bahkan termasuk bintang kelas yang sudah kuraih sejak sekolah dasar. Sampai aku SMA pun ayah tidak pernah memuji atau bahkan melihat nilaiku. Saat aku mengatakan kalau aku juara satu lagi ayah hanya mengatakan "Alhamdulillah."

Sebelumnya perkenalkan namaku Akbar Dirgantara, saat ini menjadi siswa kelas 12 di SMA Negeri 1, yang mana salah satu sekolah favorit di kotaku, dan termasuk pilihaku kala itu. Aku tinggal berdua bersama ayah, karena emak sudah meninggal tiga tahun lalu. Selama ini aku memang tidak memusingkan sifat ayah yang teramat pendiam karena ada emak yang lebih terbuka dan selalu menceritakan banyak hal. Tapi sejak kepergian beliau, mau tak mau aku harus mendekati ayah, karena dialah satu-satunya keluarga yang aku punya. Karena dari awal aku tidak tau cara mendekati ayah, sampai saat ini aku bingung, pusing dan kewalahan menghadapi sifat ayah.

 Ayah hanya seorang pekerja serabutan, kerja apa saja pasti beliau lakoni mulai dari supir, kuli angkut, bangunan, ngojek, Cleaning Service bahkan beliau juga pernah jadi petani. Saat melihat ayah yang bekerja sangat keras, membuatku merasa kasihan apalagi umur beliau semakin renta hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya.

Kadang aku merasa kesepian di rumah ketika ayah belum pulang kerja, apalagi beliau sering pulang malam. Bisa saja aku tidak patuh padanya atau mengikuti teman-teman yang suka tawuran, balapan liar atau kenakalan remaja lainnya. Tidak, aku tidak akan melakukan itu, aku tidak ingin menyakiti hati ayah dan membuatnya bersedih. Sejak saat itu aku menganggap Kalau ayah yang pendiam dan hanyak bekerja adalah untuk melupakan kerinduannya pada emak.

Pagi ini aku akan berangkat ke sekolah, seperti biasa di atas meja sudah ada sarapan bahkan bekal makan siang juga sudah di sajikan. Pastinya ayah yang memasak dan menyiapkan semua itu. Aku tersenyum lalu menyantap sarapan itu setelahnya bergegas ke sekolah. 

Sebagai siswa kelas 12, kami dihadapkan dengan banyak ujian akhir, rencana kuliah dan persiapan lainnya. Aku sudah memikirkan itu semua dengan matang-matang, apalagi sekolah ini banyak yang lolos jalur prestasi ke beberapa universitas terkemuka di Indonesia aku ingin salah satu diantaranya dan harus bisa menerima beasiswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun