Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bisakah Suara Rakyat Tersampaikan Tanpa Kekerasan?

31 Agustus 2025   11:30 Diperbarui: 1 September 2025   12:42 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas Transjakarta cek halte Polda yang dibakar oknum saat demo, Jumat (29/8/2025). KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN) 

Bisakah Suara Rakyat Tersampaikan Tanpa Kekerasan?

"Demokrasi tanpa etika hanyalah riuh tanpa makna."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Apakah perjuangan rakyat dalam menyuarakan aspirasi harus selalu dibayar dengan kerusakan fasilitas umum? Pertanyaan ini mencuat usai demonstrasi pada Jumat (29/8/2025) yang berakhir ricuh, dengan halte-halte Transjakarta terbakar. Ironisnya, ruang publik yang seharusnya menjadi milik bersama justru menjadi korban amarah sekelompok oknum. Peristiwa ini sekaligus membuka refleksi: apakah cara kita berdemokrasi sudah benar-benar dewasa?

Kerusakan fasilitas publik bukan hanya mengganggu kelancaran layanan, tetapi juga mencederai semangat aksi yang sejak awal bertujuan mulia. Dari halte terbakar hingga jalan macet, dampak nyata dirasakan masyarakat luas. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: di manakah batas antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial?

Penulis merasa isu ini relevan karena menyangkut wajah demokrasi kita di ruang publik. Aksi mahasiswa dan masyarakat adalah bagian penting dari dinamika politik, tetapi kerusakan fasilitas justru mengaburkan pesan utama yang ingin disampaikan. Karenanya, suara warga yang mengingatkan agar massa tidak mudah terprovokasi menjadi penting untuk direnungkan.

1. Fasilitas Publik, Simbol Kehidupan Bersama

Fasilitas umum seperti halte Transjakarta, pintu MRT, dan jalan raya adalah sarana vital masyarakat perkotaan. Ketika fasilitas ini rusak, bukan pemerintah semata yang dirugikan, melainkan warga biasa yang harus mencari jalur alternatif. Warga seperti Ratna, pedagang kecil, menegaskan bahwa kerusakan halte membuatnya ikut sedih karena masyarakat sendirilah yang kehilangan manfaatnya.

Kerusakan fasilitas menciptakan kesan kontradiktif: perjuangan untuk rakyat, tetapi justru merugikan rakyat. Aspirasi yang ingin diperjuangkan akhirnya tereduksi oleh citra negatif akibat kericuhan. Seperti diungkapkan Lestari, warga Pejompongan, halte yang terbakar membuat aktivitas transportasi masyarakat lumpuh, sehingga dampaknya sangat langsung terasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun