Refleksi ini menegaskan bahwa fasilitas publik bukan milik pemerintah belaka, tetapi aset sosial bersama. Merusaknya sama saja dengan melukai diri sendiri. Aksi yang sejatinya memperjuangkan kepentingan rakyat akan kehilangan legitimasi jika justru merugikan rakyat.
2. Suara Warga: Kritik Moral yang Tajam
Di balik kericuhan, suara warga menjadi pengingat moral yang penting. Adi, pesepeda di kawasan Gelora Bung Karno, menyindir tajam: jika ingin meluapkan amarah, seharusnya bukan fasilitas publik yang dihancurkan. Kritik ini menggambarkan bahwa kematangan sikap diperlukan dalam menyalurkan aspirasi.
Suara-suara seperti ini mengandung pesan mendasar bahwa aksi massa seharusnya berlandaskan kesadaran etis. Demokrasi membutuhkan partisipasi warga, tetapi partisipasi itu mesti berjalan beriringan dengan tanggung jawab. Tanpa itu, aksi hanya akan memicu antipati publik, bahkan menjauhkan simpati yang semula hadir.
Ketika massa aksi kehilangan kendali, warga yang menjadi penonton justru hadir sebagai suara hati nurani. Inilah kritik moral yang tajam: jangan sampai semangat perjuangan rakyat berubah menjadi potret destruktif yang merugikan semua.
3. Bahaya Provokasi dan Infiltrasi
Sejumlah warga juga mengingatkan bahwa provokasi sering menjadi biang keladi kerusuhan. Maria menegaskan bahwa demo seharusnya tetap damai, jangan sampai ada pihak yang menyusup dan membakar situasi. Hal ini menyinggung masalah klasik: aksi massa kerap dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memicu chaos.
Provokasi adalah racun yang merusak makna sejati demonstrasi. Aspirasi yang sejatinya murni bisa tergelincir menjadi kericuhan yang terarah. Kerugian yang ditimbulkan bukan hanya material, tetapi juga reputasi mahasiswa maupun masyarakat sipil yang berjuang.
Dengan demikian, kewaspadaan menjadi kunci. Massa aksi perlu menyiapkan mekanisme internal untuk menghindari provokasi, misalnya dengan koordinator lapangan yang disiplin, serta jalur komunikasi yang jelas. Hanya dengan cara itu, aspirasi bisa tersampaikan tanpa kehilangan arah.
4. Aspirasi Rakyat yang Tersamarkan
Peristiwa ini juga menunjukkan paradoks demokrasi: ketika kerusuhan terjadi, substansi aspirasi rakyat justru tidak terdengar. Dedi, warga Pejompongan, menyebut bahwa ricuh hanya membuat pemerintah sibuk mengurus kerusakan, bukan mendengar tuntutan rakyat. Pandangan ini menegaskan bahwa kekerasan selalu menjadi penghalang komunikasi.