Pesta Rakyat Istana: Kuliner Tradisi, Simbol Kebersamaan
"Makanan bukan sekadar santapan, melainkan bahasa universal yang menyatukan bangsa."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Suasana penuh warna menyelimuti halaman Istana Merdeka pada Minggu (17/8/2025). Kompas.com menurunkan berita berjudul “Istana Boyong Puluhan Gerobakan Kuliner Jamu Peserta Upacara HUT RI, Ada Rujak hingga Kerak Telor”. Pemandangan gerobakan kuliner rakyat di ruang istana menjadi simbol keterhubungan antara budaya pangan tradisional dengan momen kenegaraan.
Tradisi ini patut diapresiasi dan dilestarikan. Kehadiran pedagang kaki lima di lingkungan istana bukan sekadar sajian kuliner, melainkan bentuk pengakuan atas kontribusi mereka dalam membangun identitas kebersamaan. Hal ini menunjukkan urgensi merawat warisan kuliner sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa.
Penulis tertarik mengulasnya karena relevansi pesta rakyat ini dengan konteks kekinian sangat kuat. Di tengah gaya hidup serba cepat, kuliner rakyat hadir sebagai perekat sosial yang menumbuhkan rasa kebersamaan. Apa yang dilakukan istana menjadi refleksi penting tentang demokratisasi ruang publik, di mana semua orang dapat merayakan kemerdekaan dalam nuansa setara.
Kuliner Rakyat sebagai Warisan Identitas
Puluhan gerobakan yang dihadirkan tidak sekadar mengenyangkan perut, tetapi menghidupkan memori kolektif bangsa. Dari rujak segar Bang Andi hingga nasi goreng kambing Kebon Sirih, setiap hidangan menyimpan kisah panjang dalam perjalanan kuliner kota Jakarta. Hadirnya makanan jalanan di jantung istana memberi pesan bahwa kebudayaan tumbuh dari rakyat.
Pesan utama yang muncul adalah penghargaan terhadap akar budaya yang lahir di ruang publik. Pedagang kaki lima bukan sekadar pelengkap, melainkan saksi perjalanan keseharian bangsa yang terus bergerak. Di balik seporsi lontong sayur atau tahu gejrot, terselip kerja keras, ketulusan, dan semangat hidup.