Aku belum siap
Langit sore itu berwarna oranye keemasan. Awan berjalan pelan di atas atap rumah, sementara
angin membawa aroma tanah basah dan suara motor yang sesekali lewat di depan gang. Di
beranda, Raka duduk sendirian, memainkan kunci motor ayahnya yang sudah berkarat di
ujungnya.
Sebulan lagi kelulusan. Semua orang sibuk membicarakan masa depan — kampus, jurusan, citacita.
Tapi Raka? Ia bahkan belum tahu mau ke mana.
“Lo gak daftar kuliah, Ka?” tanya Dimas, sahabatnya, waktu makan siang di kantin.
Raka cuma tertawa kecil. “Kayaknya belum deh. Gak yakin mau ambil apa.”
“Yah, jangan gitu. Semua orang juga awalnya gak yakin. Coba aja dulu.”
Raka tak menjawab. Karena masalahnya bukan “mau coba” atau enggak.
Masalahnya… ia takut.
Dari kecil, Raka bukan anak yang istimewa. Nilainya biasa, gak jago olahraga, gak terlalu pandai
ngomong. Tapi satu hal yang selalu bikin dia beda: rasa penasarannya tinggi.
Ia suka bongkar barang rusak di rumah — kipas, jam, bahkan sepeda adiknya.
Tiap kali ia bilang pengin jadi montir, ayahnya selalu menggeleng.
“Kerja kotor itu, Ka. Kamu harus kuliah, jadi sarjana. Biar kerja di kantor, pakai kemeja, ada ACnya.”
Kalimat itu menancap di kepala Raka. Tapi bukannya bikin semangat, justru bikin ia bingung.
Ia sering bertanya dalam hati,
“Kalau kuliah cuma buat nyenengin orang lain, apa aku bakal bahagia?”
Dimas sudah diterima di Universitas Negeri lewat jalur prestasi. Jurusannya Teknik Sipil —katanya sih, jurusan masa depan.
“Lo ikut gue aja, Ka,” katanya sambil menepuk bahu Raka.
“Kita bareng lagi kayak dulu. Lo juga suka bangun-bangun sesuatu, kan?”
Raka cuma tersenyum. Dalam hati, ia ingin bilang, gue gak tahu gue suka apa, tapi kata-kata itu
cuma nyangkut di tenggorokan.
Di rumah, ibunya juga mulai sibuk ngisi formulir pendaftaran.
“Ibu bantuin aja ya, Ka. Kamu tinggal pilih jurusannya. Kalau bingung, ambil Ekonomi aja. Banyak
peluang kerja.”
Raka mengangguk. Ia gak mau bikin ibunya kecewa. Tapi setiap kali lihat tumpukan berkas itu,
dadanya terasa sesak. Seolah hidupnya diseret ke arah yang bukan miliknya.
Malam itu, Raka keluar tanpa tujuan. Ia berjalan ke taman kecil dekat sekolah, tempat biasa ia
dan Dimas nongkrong. Bangkunya sudah kusam, tapi di sanalah Raka bisa berpikir dengan
tenang.
Ia menatap langit. Bintang-bintang samar di balik lampu jalan.
“Gue takut, Dim,” katanya pelan — padahal Dimas gak ada di sana.
Takut gagal. Takut salah pilih. Takut ngecewain orang tua.
Dan yang paling menakutkan: takut gak punya arah.
Beberapa hari kemudian, Dimas datang ke rumah dengan wajah sumringah.
“Ka! Gue keterima resmi. Bulan depan udah mulai orientasi!”
Raka tersenyum. “Selamat ya, Dim. Lo keren.”
“Lo gimana? Udah daftar di mana?”
Raka menunduk. “Belum, Dim. Gue belum siap.”
Biasanya Dimas bakal ngebanyol. Tapi kali ini, dia cuma diam.
“Belum siap kenapa?”
“Gue gak tahu mau jadi apa. Semua orang kayak udah punya arah. Gue masih bingung.”
Dimas menarik napas panjang. “Ka, gak semua orang langsung tahu jalannya. Gue juga bingung
di awal. Tapi kalau lo gak mulai, lo gak bakal tahu cocok di mana.”
“Terus kalau gue salah?
“Ya udah, salah. Gagal gak apa-apa. Yang penting lo jalan dulu.”
Malam itu, mereka gak banyak bicara. Tapi buat pertama kali, Raka merasa lega — karena
akhirnya ia jujur.
Beberapa hari kemudian, Raka bersih-bersih lemari dan nemu buku catatan kecil. Di dalamnya
ada tulisan tangan waktu ia masih SMP:
“Cita-citaku: pengin punya bengkel sendiri. Biar bisa bantu orang memperbaiki barang rusak.”
Raka tersenyum getir.
Dulu ia nulis itu dengan semangat. Sekarang, tulisan itu terasa seperti suara kecil dari masa lalu
— mengingatkannya pada impian yang sempat ia tinggalkan.
Mungkin, pikirnya, bukan kuliah yang menakutkan.
Tapi kehilangan dirinya sendiri di tengah harapan orang lain.
Hari kelulusan tiba. Semua orang sibuk berfoto dengan toga dan bunga.
Raka berdiri di pojok halaman, memegang map ijazah sambil memperhatikan tawa temantemannya.
“Ka! Sini foto!” teriak Dimas.
Raka mendekat dan berpose. Setelah itu, Dimas menepuk punggungnya.
“Abis ini hidup beneran dimulai, Ka.”
Raka tersenyum kecil. “Kayaknya gue gak kuliah dulu, Dim. Gue mau bantu bengkel Om Dedi
dulu.”
Dimas terdiam, lalu tersenyum. “Kalau itu bikin lo tenang, jalanin aja. Hidup bukan lomba, Ka. Lo
punya waktu lo sendiri.”
Beberapa minggu kemudian, Raka mulai bantu di bengkel Om Dedi.
Tangannya kotor, bajunya bau oli, tapi anehnya — hatinya tenang.
“Ka, bautnya miring tuh. Coba benerin,” kata Om Dedi.
Raka memperbaiki dengan hati-hati.
“Gini, Om?”
“Ya, itu baru bener. Tangan lo terampil. Sayang kalau gak dimanfaatin.”
Kata-kata sederhana itu menancap dalam. Akhirnya, ada yang percaya padanya tanpa syarat.
Malamnya, ia pulang dengan wajah kotor tapi hati lega. Untuk pertama kali, masa depan gak
terasa menakutkan.
Sore itu, ibunya datang ke bengkel. Raka sempat panik — takut dimarahi.
Tapi ibunya cuma berdiri di pintu, melihat anaknya bekerja.
“Capek, Ka?” tanya Ibu lembut.
“Sedikit,” jawab Raka, gugup.
Ibu tersenyum. “Kamu kelihatan bahagia.”
Raka menatapnya. “Ibu gak marah aku gak kuliah dulu?”
Ibu menggeleng. “Awalnya iya. Tapi lihat kamu sekarang, ibu ngerti. Ibu cuma mau kamu
bahagia, bukan cuma kelihatan berhasil.”
Kata-kata itu membuat Raka terdiam lama. Ternyata yang ia butuhkan bukan izin, tapi
pengertian.
Beberapa bulan kemudian, Dimas pulang liburan dan ngajak ketemu di taman yang dulu.
Sekarang suasananya beda — lebih tenang, lebih dewasa.
“Gue kira lo nyerah waktu itu,” kata Dimas.
Raka tersenyum. “Gue gak nyerah. Gue cuma berhenti sebentar, buat denger suara hati gue
sendiri.”
“Dan sekarang?”
“Sekarang gue belajar lagi. Di bengkel. Tahun depan gue mau kursus otomotif.”
Dimas menepuk bahunya. “Gue bangga, Ka. Lo udah nemuin arti ‘siap’ lo sendiri.”
Raka mengeluarkan secarik kertas dari tasnya. Surat yang ia tulis untuk dirinya sendiri.
“Untuk Raka,
Gak apa-apa belum tahu mau jadi apa.
Gak apa-apa takut gagal.
Tapi jangan berhenti nyari alasan buat hidup.
Kadang ‘belum siap’ bukan berarti ‘gak bisa’.
Itu cuma tanda kalau lo lagi belajar ngerti diri sendiri.”
Mereka duduk diam, menatap langit senja.
“Lo tahu gak, Ka,” kata Dimas, “gue iri. Lo berani lawan arus. Lo buktiin kalau gak semua jalan
harus sama.”
Raka tertawa kecil. “Padahal dulu gue yang paling takut.”
“Justru karena lo takut, lo jadi berani.”
Langit sore itu sama seperti dulu — tapi rasanya berbeda.
Kini, masa depan buat Raka bukan lagi sesuatu yang menakutkan.
Bukan karena ia tahu semua jawabannya, tapi karena ia belajar berdamai dengan
ketidaktahuannya.
Setahun berlalu. Raka berhasil menabung dan mendaftar di kursus otomotif.
Sekarang, ia memperbaiki motor sambil belajar teori mesin.
Om Dedi tersenyum suatu pagi.
“Ka, kamu gak cuma bantu di sini. Kamu udah jadi bagian penting bengkel ini. Kalau nanti buka
bengkel sendiri, Om pasti bangga.”
Raka terdiam sejenak, lalu tersenyum.
Dulu ia pikir dirinya tertinggal. Tapi sekarang ia tahu:
setiap orang punya waktunya sendiri.
Dan saat menatap langit oranye yang sama seperti dulu, ia akhirnya bisa berkata dalam hati —
“Sekarang, gue siap.”
Tamat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI