Masalahnya… ia takut.
Dari kecil, Raka bukan anak yang istimewa. Nilainya biasa, gak jago olahraga, gak terlalu pandai
ngomong. Tapi satu hal yang selalu bikin dia beda: rasa penasarannya tinggi.
Ia suka bongkar barang rusak di rumah — kipas, jam, bahkan sepeda adiknya.
Tiap kali ia bilang pengin jadi montir, ayahnya selalu menggeleng.
“Kerja kotor itu, Ka. Kamu harus kuliah, jadi sarjana. Biar kerja di kantor, pakai kemeja, ada ACnya.”
Kalimat itu menancap di kepala Raka. Tapi bukannya bikin semangat, justru bikin ia bingung.
Ia sering bertanya dalam hati,
“Kalau kuliah cuma buat nyenengin orang lain, apa aku bakal bahagia?”
Dimas sudah diterima di Universitas Negeri lewat jalur prestasi. Jurusannya Teknik Sipil —katanya sih, jurusan masa depan.
“Lo ikut gue aja, Ka,” katanya sambil menepuk bahu Raka.