“Kita bareng lagi kayak dulu. Lo juga suka bangun-bangun sesuatu, kan?”
Raka cuma tersenyum. Dalam hati, ia ingin bilang, gue gak tahu gue suka apa, tapi kata-kata itu
cuma nyangkut di tenggorokan.
Di rumah, ibunya juga mulai sibuk ngisi formulir pendaftaran.
“Ibu bantuin aja ya, Ka. Kamu tinggal pilih jurusannya. Kalau bingung, ambil Ekonomi aja. Banyak
peluang kerja.”
Raka mengangguk. Ia gak mau bikin ibunya kecewa. Tapi setiap kali lihat tumpukan berkas itu,
dadanya terasa sesak. Seolah hidupnya diseret ke arah yang bukan miliknya.
Malam itu, Raka keluar tanpa tujuan. Ia berjalan ke taman kecil dekat sekolah, tempat biasa ia
dan Dimas nongkrong. Bangkunya sudah kusam, tapi di sanalah Raka bisa berpikir dengan
tenang.