Ia bangkit lagi, entah kekuatan dari mana, darah telah mengalir dari hidungnya. Rasa sakit meluap-luap. Kencing tumpah memenuhi celananya. Pikiran dan tubuhnya kompak berteriak, ia masih ingin hidup!
Tejo datang dengan keringat memenuhi keningnya setelah berlari sekian lama menuju pasar. Segera ia masuk di antara kerumunan, dan dengan kaki hitamnya yang kotor berhasil menendang ke arah Yadi. Betapa senangnya Tejo saat itu, namun tiba-tiba tangan Yadi meraih kaki kotor Tejo.
"Tolong, saya punya anak, istri... mohon ampun... Saya bukan maling... Anak saya sebentar lagi mau lahir, tolong jangan yatimkan anak saya..."
Yadi tidak ingin melarikan diri lagi. Ia tahu hal itu akan sia-sia di mata orang-orang yang semuanya sudah dirasuki setan.
Yadi hanya ingin percaya, bahwa pria yang menendangnya, yang kini ia peluk kakinya, adalah manusia juga, yang sehari-hari mengutuk berita pembunuhan di koran poskota yang dibacanya tiap pagi. Ibu-ibu yang merekam dengan handphonenya bisa melihat bahwa orang di hadapannya, yang kini bersimbahkan darah, adalah anaknya atau saudaranya. Bahwa pria berkacamata dengan baju safari yang menjatuhkan batu bata di kepalanya, adalah seorang guru yang selalu ramah tamah pada anak-anak dan tak pernah sekalipun melukai orang seumur hidupnya. Mereka semua adalah orang biasa yang tidak haus akan darah. Mereka semua adalah orang baik yang tidak pernah sekalipun berpikir bahwa suatu hari mereka akan benar-benar mencabut nyawa manusia.
"Anjing, lepasin babi!"
Tejo tendang kepala Yadi dua kali, tapi tak bergeming Yadi dibuatnya.
Tangis Yadi membuat orang-orang semakin merasa kasihan, dan lama-lama tendang pukul dan lempar batu itu makin sepi juga, bahkan Tejo yang dari tadi berupaya melepaskan diri dengan memukuli Yadi-pun berhenti melakukannya karena rasa iba.
Tapi Teguh tidak senang dengan suasana itu.
Ia memiliki suatu ide, dan ide tersebut sungguh brilian di kepalanya hingga rasa-rasanya ia membohongi dirinya sendiri bahwa dirinya telah dirasuki setan.
***