Mohon tunggu...
Reza Pratama Nugraha
Reza Pratama Nugraha Mohon Tunggu... Programmer - Penulis Amatir

Seorang penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara Bising

1 Mei 2023   03:23 Diperbarui: 1 Mei 2023   05:18 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kehidupan seakan tak pernah membaik setelah itu, Bapak meninggalkan mereka sehingga Yadi harus menghidupi sang ibu dengan 3 adiknya. Pekerjaan menjadi dua kali lipat, dan lagi dilantunkan Ibu, sesudah kesulitan itu ada kemudahan, ucapan tersebut terus diucapkan sampai liang lahat Ibu yang mengikut Bapak lima tahun kemudian.

Setiap harinya kehidupan semakin keras, semakin mahal harga sembako dan biaya pendidikan adik-adiknya. Jika Bapak tak ajari dia ilmu bongkar-bongkar barang elektronik apakah dia bisa hidup dalam masa-masa sulit itu? Barangkali, dia akan maling, mencopet, dan merampok seperti kawan-kawannya yang lain yang juga tidak pernah punya kesempatan untuk hidup yang lebih baik. Belum lagi, lama-kelamaan ilmu memperbaiki barang elektronik ini ternyata tidak cukup untuk menghidupi hidup. Yadi karenanya harus hidup menjadi kuli, buruh pabrik, membantu manen padi, harus hidup menjadi apa saja. Secapek apapun, selelah-lelahnya, sehancur-hancurnya, kehidupan tak pernah lebih sejahtera dari kemarin, seakan hidupnya sehari hanya untuk mampu bertahan hidup untuk keesokan harinya, dan tak lama ia mulai lupa cara bersyukur.

Kini adik-adik Yadi sudah mulai dewasa, yang satu menikah, yang satu menjadi pembantu di Jakarta, dan yang satu menjadi TKI.

Yadi setelah itu pergi meninggalkan kampung halamannya, berharap kehidupan yang lebih baik dekat dengan ibukota. Awal menjadi buruh pabrik, hingga membuka tempat reparasi elektronik di rumah sewaan. Lalu menikahi gadis kampung yang ia senangi ketika mengutang nasi uduk di depan pabrik tempatnya menjadi kuli dulu.

Benar kata ibunya, kehidupan ternyata bisa menjadi lebih baik, walau waktunya lama sekali.

Tapi nyatanya memang, kemujuran memang ada batasnya.

Hidup tak sesederhana pikiran, hal yang dahulu dipikir cukup ternyata sama sekali jauh dari kata cukup, hutang semakin mudah didapat tapi ternyata membengkaknya bukan main, ah aku kan hanya lulusan SMP pikir Yadi, gampang ditipu-tipu. Lalu ia harus hidup lebih keras lagi, lebih keras lagi, dengan harap kemujuran akan muncul lagi, seperti berharap mungkin suatu saat togelnya mujur.

Dalam renung pikirnya tapi kadang terlintas, apakah anaknya akan senasib dengan dirinya, apakah dia akan merasakan susahnya kehidupan seperti ibunya Wati jika saja dirinya pergi mencari penghidupan dan ternyata tidak kembali hidup-hidup?

Ketakutan ini selalu muncul ketika ia bangun dari tidurnya.

Lalu ketakutan itu semakin demikian nyata ketika ia bangun dari atas aspal, bersimbah darah.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun