Mohon tunggu...
Muhamad Misbah Al Amin
Muhamad Misbah Al Amin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implementasi Hukum Pidana Islam dalam Sistem Peradilan Indonesia: Tantangan dan Peluang

8 Maret 2023   09:08 Diperbarui: 8 Maret 2023   09:09 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengertian pembatalan perkawinan menurut kamus hukum adalah suatu tindakan pembatalan suatu perkawinan yang tidak mempunyai akibat hukum yang dikehendaki karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum atau Undang-Undang. Dalam kajian hukum Islam, pembatalan perkawinan disebut dengan fasakh yang berarti mencabut atau menghapus atau membatalkan. Atau dalam arti lain perkawinan diputuskan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama walaupun tidak ada secara pasti ada istilah pembatalan perkawinan dalam literatur fiqh. Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Alasan pembatalan perkawinan oleh suami istri atau oleh para keluarga dalam garis keturtman lurus ke atas dari suami atau istri, ataupun oleh jaksa berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbarui supaya sah.

Berdasarkan Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa: "Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian". Jadi, tata cara yang dipakai untuk permohonan pembatalan perkawinan sama dengan tata cara pengajuan permohonan perceraian. Kemudian dalam ayat (3) Pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 tersebut dikatakan bahwa: "Hal-hal yang berhubungan dengan pemanggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai Pasal 36 PP ini". Adapun saat dimulainya pembatalan perkawinan, beserta akibat hukum yang ditimbulkan dengan adanya pembatalan perkawinan oleh Pengadilan Agama ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Apabila perkawinan dilaksanakan tidak memenuhi syarat-syarat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka perkawinan itu dapat dibatalkan. Karena perkawinan merupakan perbuatan hukum, tentunya apabila pekawinan itu dibatalkan akan memiliki akibat hukum. Pembatalan perkawinan memiliki akibat hukum terhadap berbagai pihak, baik pihak yang melaksanakan perkawinan maupun pihak lain yang berkaitan dengan adanya perkawinan tersebut. Mengenai akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap putusan pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama mencakup 3 (tiga) hal penting, yaitu: Pertama, Akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap hubungan suami istri adalah putusnya hubungan suami istri tersebut karena setelah putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka perkawinan batal sejak saat berlangsungnya perkawinan, oleh karena itu perkawinan dianggap tidak pernah ada. Kedua, Selain berakibat pada putusnya hubungan suami istri batalnya perkawinan juga membawa akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap kedudukan anak, maka terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai isi Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Ketiga, Akibat hukum dari batalnya perkawinan terhadap hada bersama terdapat dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, dalam arti tidak ada unsur kesengajaan untuk melangsungkan perkawinan dengan melanggar hukum yang berlaku, sehingga walaupun perkawinan itu dibatalkan oleh Pengadilan karena tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, maka tetap ada pembagian harta bersama. Pembagian harta bersama sesuai dengan pembagian harta bersama karena perceraian.

BAB V

PENCATATAN PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Pencatatan perkawinan adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seorang mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Pencatatan perkawinan sangat penting dilaksanakan oleh pasangan mempelai sebab buku nikah yang mereka peroleh merupakan bukti otentik tentang keabsahan pernikahan itu, baik secara agama maupun negara. Pencatatan perkawinan dapat diartikan juga sebagai suatu perbuatan administrasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh instansi yang berwenang (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam) yang ditandai dengan penerbitan Akta Nikah atau Buku Nikah untuk kedua mempelai. Secara umum pencatatan perkawinan mencangkup tiga peristiwa dalam perkawinan tersebut yaitu nikah, cerai, dan rujuk. Hal ini didasarkan sebagai bentuk pengawasan perkawinan yang diamanatkan Undang-Undang. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 ditetapkan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Dan diikuti oleh ayat berikutnya bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Landasan hukum tentang pencatatan perkawinan ini memang tidak ditemukan secara jelas dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadis. Akan tetapi, sebagian pendapat ada yang menganalogikan pencatatan perkawinan tersebut dengan masalah muamalah lain yang termaktub dalam Al- Qur'an surat Al-Baqarah: 282. Ayat tersebut menjelaskan tentang perintah pencatatan secara tertulis dalam segala bentuk urusan muamalah, seperti perdagangan, hutang piutang dan sebagainya. Dijelaskan bahwa alat bukti tertulis itu statusnya lebih adil dan benar di sisi Allah serta dapat menguatkan persaksian, sekaligus dapat menghindarkan kita dari keraguan. Pencatatan perkawinan memiliki beberapa manfaat, diantaranya untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaan itu, maupun menurut perundang-undangan. Hal ini karena sebelum proses perkawinan dan pencatatan perkawinan dilaksanakan, sebelumnya pegawai pencatat terlebih dahulu akan meneliti apakah kedua mempelai calon pengantin tersebut telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. Dengan kata lain arti pentingnya sebuah pencatatan perkawinan adalah untuk menertibkan administrasi perkawinan dalam masyarakat. Karena sewaktu-waktu alat bukti nikah yang berupa akta nikah dapat dipergunakan bilamana diperlukan sebagai bukti tertulis yang otentik serta mempunyai kekuatan hukum yang sah berdasarkan Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa hanya ada dua lembaga yang mempunyai legitimasi hukum melakukan fungsi pencatatan perkawinan. Adapun mekanisme pencatatan perkawinan yang tertera dalam Pasal 6 PP No. 9 Tahun 1975. Sedangkan berkaitan dengan sanksi pernikahan yang tidak dicatatkan peraturan pemerintah ini menyatakan bahwa pernikahan yang tidak dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat nikah akan dikenakan sanksi hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7.500. Jadi, pencatatan perkawinan dapat dilakukan di KUA atau Kantor Catatan Sipil setempat, sedangkan mekanisme pencatatan talak dapat dilakukan melalui pengajuan perkara cerai talak atau gugat di Pengadilan Agama setempat.

Akibat hukum bagi perkawinan yang tidak tercatat secara aturan berlaku di Indonesia maka konsekuensi logis maupun yuridisnya sebagai berikut: 

Perkawinan dianggap tidak sah meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, 

Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun