Mohon tunggu...
Muhamad Misbah Al Amin
Muhamad Misbah Al Amin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implementasi Hukum Pidana Islam dalam Sistem Peradilan Indonesia: Tantangan dan Peluang

8 Maret 2023   09:08 Diperbarui: 8 Maret 2023   09:09 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENERAPAN HUKUM KELUARGA DAN HUKUM BISNIS ISLAM DI INDONESIA

Siska Lis Sulistiani, M.Ag., M.E.Sy. 2018.

Di Susun Oleh: Muhamad Misbah Al Amin/212121102/HKI 4C

BAB I

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN KEKUATAN HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

Hukum secara bahasa merupakan bahasa serapan dari bahasa arab yaitu al-hukmu yang artinya memutuskan, mencegah, menetapkan, memimpin atau memerintah. Adapun secara istilah dikenal dalam ilmu ushul fiqh kaidah: "Segala sesuatu yang menunjukkan padanya kehendak syar'i yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang yang telah dewasa (mukallaf) baik berupa tuntutan, kewajiban, pilihan dan hukum wadh'i". Adapun pengertian hukum perdata secara umum diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang masalah hubungan orang dengan orang lain meliputi hukum perorangan (hukum keluarga), benda, perikatan (harta kekayaan termasuk waris dan pembuktian serta daluarsa). Sementara dalam pengertian umum, hukum perdata Islam diartikan sebagai norma hukum yang berhubungan dengan hukum keluarga Islam, seperti hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat dan perwakafan.

Hukum perdata Islam mencangkup hukum keluarga Islam dan Hukum bisnis Islam yang sudah melalui positivisasi hukum di Indonesia. Adapun secara rinci ruang lingkup kajian hukum perdata Islam di Indonesia yang sering dipelajari di perguruan-perguruan tinggi negeri maupun swasta Islam di Indonesia yaitu: Pertama, Hukum perkawinan yang meliputi mekanisme pencatatan perkawinan, aspek hukum perceraian, harta gono-gini, akibat hukum terhadap anggota keluarga dan poligami. Kedua, Hukum kewarisan meliputi aspek sengketa hukumnya di Pengadilan Agama. Ketiga, Hukum perwakafan, zakat, infak, sedekah, wasiat, dan hibah. Keempat, Hukum bisnis meliputi aspek hukum akad-akad mu'awadhah (mudharabah, murabahah, ijarah, musyarakah, jual beli).

Perkembangan hukum perdata Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam sama artinya dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Hukum perdata Islam telah eksis di Indonesia jauh sebelum kedatangan penjajah. Akan tetapi, hukum Indonesia pasca kolonial pada umumnya adalah warisan kolonial Belanda, pada waktu Indonesia memproklamasikan kemerdekaan memang terjadi peralihan kekuasaan dari penjajah ke orang Indonesia, tetapi tidak terjadi peralihan dari hukum Belanda ke hukum Indonesia secara sistematis, kecuali Undang-Undang Dasar 1945 sebagai produk Indonesia yang disusun secara darurat. Semua hukum yang berlaku setelah pengesahan Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, baik hukum perdata, hukum pidana manpun hukum acara, ataupun hukum lainnva, adalah kelanjutan dari hukum yang berlaku di wilayah administrative Belanda. Setelah mulai stabil, Indonesia juga memperkenalkan hukum Indonesia sendiri, tetapi sesungguhnya wawasan perancang dan pembuat hukum di Indonesia belum dapat melepaskan dari wawasan hukum asing.

Politik hukum yang dilancarkan oleh Belanda dengan kebutuhan kolonialisme yakni hukum direncanakan untuk diunifikasi, disatukan. Maksudnya adalah hukum yang berlaku di Negara Belanda, diberlakukan juga di Indonesia. Pada masa itu timbul konflik hukum, karena adanya di antara para sarjana hukum Belanda yang tidak menyetujui unifikasi hukum dalam arti seperti diterangkan di atas. Para sarjana hukum Belanda yang menolak unifikasi itu dipelopori oleh C. van Vollenhoven dengan bukunya De Ontdekking van het Adatrecht (penemuan hukum adat). Menurut van Vollenhoven, hukum yang berlaku di masyarakat Indonesia bukanlah hukum Islam, melainkan hukum Adat, yakni hukum yang berakar pada kesadaran hukum masyarakat sejak dulu, dan hukum yang telah berhasil membuat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang damai dan tertib. Menurut teori ini, hukum-hukum Islam yang berlaku di masyarakat karena telah diterima (diresepsi) oleh hukum adat. 

Dari pendapat tersebut, timbulah konflik antara sistem hukum Islam, Adat dan Hukum Barat. Selanjutnya teori tersebut dibantah dengan teori Receptive A. Contrario yang dikemukakan oleh Sayuthi Thalib, yang menyatakan bahwa bagi umat Islam berlaku hukum Islam, dan hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000 adalah: 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun