Awal 2000-an, Windows XP hadir. Tampilan biru dengan Start Menu yang segar membuat Nullok bersemangat lagi.
Ia menghabiskan berjam-jam di warnet, menjelajahi forum luar negeri. Kemampuan bahasa Inggrisnya membuat ia mudah bertanya dan membaca jawaban dari teknisi dunia.
Di sinilah ia belajar banyak hal: cara merakit PC dari nol, memilih motherboard, memasang prosesor Pentium, bahkan melakukan overclock. Baginya, komputer seperti manusia. Kalau diberi "makanan" RAM lebih banyak, dia jadi gesit. Kalau pendinginannya kurang, dia bisa demam dan mati.
Waktu terus berjalan. Windows Vista sempat lewat, tapi ia kurang suka. Baru ketika Windows 7 hadir, Nullok merasa nyaman lagi.
Ia mulai membuka jasa servis lebih serius. Orang-orang membawa laptop, PC. Mereka minta instal ulang, minta perbaikan hardware. Ada yang rela bayar, ada juga yang cuma bisa kasih terima kasih.
Namun baginya, setiap pengalaman adalah guru.
Ketika Windows 8 muncul dengan layar kotak-kotak, ia sempat bingung. "Ini komputer atau televisi?" katanya. Tapi ia tetap belajar.
Hingga akhirnya Windows 10 datang. Stabil, modern, dan ramah. Nullok yang dulu belajar mengetik DIR di layar hitam kini mahir mengatur partisi, membuat recovery, bahkan menghubungkan laptop ke proyektor untuk presentasi.
Kini, komputer sudah jauh berbeda. Dari prosesor 286, 386, 486, Pentium, Core 2 Duo, hingga i3, i5, i7. Nullok mengikuti semuanya. Ia bangga ketika berhasil merakit PC dengan prosesor Intel Core i7, RAM 16 GB, dan SSD.
"Kalau komputer ini dibandingkan dengan 286 dulu, perbedaannya seperti kuda dengan pesawat jet supersonik," katanya sambil tertawa.
Ia pun menguasai Microsoft Office terbaru. Excel, Word, PowerPoint, bahkan Access. Rumus-rumus rumit ia buat dengan mudah.