Namun, ia tetap ingat akar. "MS-DOS tetap penting," katanya. "Tanpa DOS, Windows tak bisa berdiri."
Dia mulai mencoba Windows 3.1. "Wah, enak sekali," pikirnya. Semua perintah kini cukup dengan klik, tidak perlu lagi mengetik barisan rumus seperti di MS-DOS.
Ia teringat, di MS-DOS dulu ia harus mengetik beberapa baris perintah dengan tanda titik hanya untuk bisa menghasilkan sebuah lagu sederhana.
Tahun 1995, Microsoft meluncurkan Windows 95. Dunia komputer geger. Ada tombol Start, ada taskbar, ada menu yang lebih rapi.
Suatu saat kebetulan Nullo ada urusan ke kota provinsi, yang berjarak 12 jam perjalan dengan bus dari daerahnya. Itu sekalian dia manfaatkan pergi toko komputer yang lengkap. Nullok rela antre di toko komputer untuk melihat demo. Ia jatuh cinta seketika. "Ini masa depan," katanya mantap.
Pulangnya Ia belajar instalasi dari CD-ROM yang ukurannya jauh lebih besar dibanding disket. Proses lama, tapi hasilnya memuaskan. Ia kini bisa menjelaskan ke orang lain: cara membuat folder, cara copy-paste, cara membuka dua aplikasi sekaligus.
"Dulu semua harus hafal perintah," katanya. "Sekarang cukup klik."
Akhir 1990-an, Nullok makin sibuk. Windows 97 lalu 98 masuk ke pasaran. Warnet mulai bermunculan. Ia belajar internet dengan modem dial-up. Suara kreeek... kriiit... tututut... begitu akrab di telinganya.
Namun musuh baru muncul: virus komputer. Disket sering membawa tamu tak diundang. Ada virus Michelangelo, ada CIH, bahkan virus lokal yang bandel.
Nullok pusing, tapi tidak menyerah. Ia belajar menginstal antivirus, melakukan registry edit, bahkan mencoba membuat batch file kecil untuk melawan virus.
Teman-temannya menyebutnya "dokter komputer". Ia tertawa, meski sebenarnya kadang frustasi karena virus lebih cepat berkembang daripada antivirus.