Mohon tunggu...
Yovinus
Yovinus Mohon Tunggu... laki-laki

Hidup itu begitu indah, jadi jangan disia-siakan. Karena kehidupan adalah anugerah Tuhan yang paling sempurna bagi ciptaanNya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pertemuan Pertama dengan Kotak Ajaib

16 September 2025   06:25 Diperbarui: 16 September 2025   21:46 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://museum.ipsj.or.jp/en/computer/personal/0021.html

Tahun 1990, di sebuah kota kecil di tepi sungai besar, seorang lelaki bernama Nullok untuk pertama kalinya melihat benda yang kelak akan mengubah seluruh jalan hidupnya.

Bentuknya aneh, warnanya krem pucat, dengan layar cembung hijau kehitaman. Ketika dinyalakan, terdengar suara berdengung, kipas berputar, dan deretan huruf putih muncul di layar.

Pamannya, seorang pegawai kantor pemerintahan, berkata penuh kebanggaan, "Ini komputer, Llok. Prosesornya 286. Kalau kau bisa belajar, masa depanmu cerah."

Nullok mengangguk-angguk. Dalam hati ia bertanya-tanya: bagaimana mungkin benda sebesar koper ini bisa menulis surat, menghitung angka, bahkan katanya bisa menggambar?

Baginya, komputer lebih mirip mesin tik yang keracunan listrik.

Namun ada satu hal yang membuatnya tertarik. Saat pamannya mengetik perintah DIR lalu menekan Enter, layar langsung memunculkan daftar file. Ajaib sekali, pikirnya. Tanpa kertas karbon, tanpa tinta habis, hanya dengan menekan beberapa tombol huruf.

Malam itu, ketika semua orang sudah tidur, Nullok menatap buku manual tebal berbahasa Inggris. Untunglah sejak SMP ia memang suka membuka kamus Oxford mini.

Jadi meskipun banyak istilah asing, ia bisa menebak maksudnya. Kata "directory" ia pahami sebagai daftar isi. Kata "copy" jelas artinya menyalin. Kata "delete" tentu berarti menghapus.

Sejak malam itu, hatinya tertambat. Hari-hari berikutnya, Nullok mencoba satu per satu perintah yang tertulis di buku manual.

COPY  

DEL  

FORMAT A:  

Ia kagum sekaligus ngeri. Suatu kali, karena iseng, ia mengetik FORMAT C: lalu menekan Enter. Muncul pertanyaan: "Are you sure?" Tanpa pikir panjang, ia ketik Y. Seketika seluruh isi hard disk pamannya lenyap.

Besoknya ketika pamannya membuka komputer itu, dia bingung. Lalu Pamannya murka. "Llok! Semua data laporan hilang!"

Nullok pucat. Ia nyaris diusir dari rumah pamannya. Namun, dengan sisa keberanian, ia berkata, "mohon beri saya seminggu, Paman. Saya akan kembalikan."

Seminggu penuh ia belajar dari manual, mencoba instalasi ulang dari tumpukan disket berlabel "System Disk 1 sampai 6". Akhirnya komputer itu hidup kembali. Pamannya terkejut, bahkan mulai kagum.

Anak ini ajaib. Bakat terpendam.

Dari situlah kepercayaan dirinya tumbuh.

Wordstar menjadi teman barunya. Ia belajar menulis, menyimpan, dan mencetak dokumen. Huruf-huruf bergaya monospasi di layar hijau terasa seperti puisi modern. Ia juga berlatih dengan Lotus 1-2-3.

Rumus-rumus aneh di spreadsheet justru membuatnya ketagihan. Angka bisa berubah otomatis hanya karena formula---seakan ada sihir tersembunyi di balik layar.

"Komputer ini bukan sekadar mesin," gumamnya. "Ia seperti guru yang sabar."

Karena paham bahasa Inggris, Nullok mulai berani membuka casing komputer. Ia kaget melihat isi dalamnya: motherboard, RAM, kartu grafis, power supply. Semuanya terpasang rapi seperti organ tubuh.

"Kalau salah pasang, bisa mati total," katanya pada dirinya sendiri.

Tapi rasa ingin tahu lebih besar daripada rasa takut. Ia belajar mengganti RAM, membersihkan debu dengan kuas, sampai mengganti kipas pendingin. Kadang berhasil, kadang gagal, tapi setiap kegagalan menambah pengetahuan.

Untungnya pamannya tidak komplain, dia memberikan kebebasan sepenuhnya kepada Nullok.

Tak lama, kabar pun menyebar. "Ada anak muda yang bisa memperbaiki komputer," begitu bisik tetangga.

Orang-orang mulai datang, membawa komputer error. Bayarannya sederhana: beberapa buah pisang goreng, segelas kopi, atau sepiring nasi goreng.

Tapi Nullok merasa seperti profesor. Bayangkan, otodidak, tapi mumpuni.

Sekitar 1992, ia pertama kali mengenal Windows 3.1. Tampilan grafis dengan ikon-ikon membuatnya ternganga.

"Lho, komputer bisa digambar? Ada mouse pula?" katanya takjub. 

Beda jauh dari MS-DOS.

Ia belajar menggerakkan pointer, membuka Program Manager, menjalankan Paintbrush, menulis di Notepad. Semua terasa seperti dunia baru. Teman-temannya kagum ketika melihat ia menggambar kotak dan lingkaran di layar.

Namun, ia tetap ingat akar. "MS-DOS tetap penting," katanya. "Tanpa DOS, Windows tak bisa berdiri."

Dia mulai mencoba Windows 3.1. "Wah, enak sekali," pikirnya. Semua perintah kini cukup dengan klik, tidak perlu lagi mengetik barisan rumus seperti di MS-DOS.

Ia teringat, di MS-DOS dulu ia harus mengetik beberapa baris perintah dengan tanda titik hanya untuk bisa menghasilkan sebuah lagu sederhana.

Tahun 1995, Microsoft meluncurkan Windows 95. Dunia komputer geger. Ada tombol Start, ada taskbar, ada menu yang lebih rapi.

Suatu saat kebetulan Nullo ada urusan ke kota provinsi, yang berjarak 12 jam perjalan dengan bus dari daerahnya. Itu sekalian dia manfaatkan pergi toko komputer yang lengkap. Nullok rela antre di toko komputer untuk melihat demo. Ia jatuh cinta seketika. "Ini masa depan," katanya mantap.

Pulangnya Ia belajar instalasi dari CD-ROM yang ukurannya jauh lebih besar dibanding disket. Proses lama, tapi hasilnya memuaskan. Ia kini bisa menjelaskan ke orang lain: cara membuat folder, cara copy-paste, cara membuka dua aplikasi sekaligus.

"Dulu semua harus hafal perintah," katanya. "Sekarang cukup klik."

Akhir 1990-an, Nullok makin sibuk. Windows 97 lalu 98 masuk ke pasaran. Warnet mulai bermunculan. Ia belajar internet dengan modem dial-up. Suara kreeek... kriiit... tututut... begitu akrab di telinganya.

Namun musuh baru muncul: virus komputer. Disket sering membawa tamu tak diundang. Ada virus Michelangelo, ada CIH, bahkan virus lokal yang bandel.

Nullok pusing, tapi tidak menyerah. Ia belajar menginstal antivirus, melakukan registry edit, bahkan mencoba membuat batch file kecil untuk melawan virus.

Teman-temannya menyebutnya "dokter komputer". Ia tertawa, meski sebenarnya kadang frustasi karena virus lebih cepat berkembang daripada antivirus.

Awal 2000-an, Windows XP hadir. Tampilan biru dengan Start Menu yang segar membuat Nullok bersemangat lagi.

Ia menghabiskan berjam-jam di warnet, menjelajahi forum luar negeri. Kemampuan bahasa Inggrisnya membuat ia mudah bertanya dan membaca jawaban dari teknisi dunia.

Di sinilah ia belajar banyak hal: cara merakit PC dari nol, memilih motherboard, memasang prosesor Pentium, bahkan melakukan overclock. Baginya, komputer seperti manusia. Kalau diberi "makanan" RAM lebih banyak, dia jadi gesit. Kalau pendinginannya kurang, dia bisa demam dan mati.

Waktu terus berjalan. Windows Vista sempat lewat, tapi ia kurang suka. Baru ketika Windows 7 hadir, Nullok merasa nyaman lagi.

Ia mulai membuka jasa servis lebih serius. Orang-orang membawa laptop, PC. Mereka minta instal ulang, minta perbaikan hardware. Ada yang rela bayar, ada juga yang cuma bisa kasih terima kasih.

Namun baginya, setiap pengalaman adalah guru.

Ketika Windows 8 muncul dengan layar kotak-kotak, ia sempat bingung. "Ini komputer atau televisi?" katanya. Tapi ia tetap belajar.

Hingga akhirnya Windows 10 datang. Stabil, modern, dan ramah. Nullok yang dulu belajar mengetik DIR di layar hitam kini mahir mengatur partisi, membuat recovery, bahkan menghubungkan laptop ke proyektor untuk presentasi.

Kini, komputer sudah jauh berbeda. Dari prosesor 286, 386, 486, Pentium, Core 2 Duo, hingga i3, i5, i7. Nullok mengikuti semuanya. Ia bangga ketika berhasil merakit PC dengan prosesor Intel Core i7, RAM 16 GB, dan SSD.

"Kalau komputer ini dibandingkan dengan 286 dulu, perbedaannya seperti kuda dengan pesawat jet supersonik," katanya sambil tertawa.

Ia pun menguasai Microsoft Office terbaru. Excel, Word, PowerPoint, bahkan Access. Rumus-rumus rumit ia buat dengan mudah.

Anak-anak muda terheran-heran. "Pak Nullok belajar di mana?"

Dengan senyum sederhana ia menjawab, "Saya belajar di kampung. Otodidak. Modalnya cuma buku manual bahasa Inggris, rasa ingin tahu, dan kesabaran."

Kini, usia Nullok sudah lebih dari enam puluh tahun. Rambutnya memutih, matanya tak setajam dulu. Tapi setiap kali ia menyalakan laptop dengan Windows 10, ia teringat masa lalu.

Saat pertama kali mengetik DIR. Saat panik karena memformat hard disk. Saat ternganga melihat Windows 95. Saat begadang melawan virus. Semua itu adalah bagian dari dirinya.

Bagi Nullok, komputer bukan sekadar mesin. Ia adalah guru, sahabat, sekaligus saksi perjalanan hidup.

Dan ia selalu berkata kepada generasi muda:

"Jangan takut teknologi. Dulu saya belajar dari komputer lemot dengan disket rapuh. Dengan modem dial-up, kecepatan hanya 14 kbps. Kalian sekarang punya internet, punya YouTube, punya banyak kemudahan. Jadi jangan malas. Belajarlah. Karena waktu tak menunggu."

Kini sudah ada raksasa Google, Youtube dan segala macamnya. AI, Internet cepat. Komputer Kuantum. Dua puluh tahun yang akan datang, entah bagaimana dunia teknologi.

Bagaimana posisi manusia?

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun