Yuna menangis di sana. Di ruangan tempatnya melukis wajah Bunda. Ia sangat rindu Bunda sekarang. Dua semester sudah ia tak bisa bertemu sang Bunda.
Keesokan harinya ia pergi ke kafe Borahae. Ia memasuki kafe itu dengan tergesa. Mencari seseorang yang berada di dapur. Ia menarik lelaki itu dengan kasar agar berhadapan dengannya. Melihat wajahnya saja ia sangat muak. Rahangnya mengeras.
"Kau. Kenapa kau tidak mau mengalah denganku? Kenapa kau selalu berada di urutan pertama ha? Kenapa kau bersekolah di SMA Golden? Kenapa?" Nadanya meninggi mengeluarkan seluruh emosi yang ia simpan sejak tadi. "Aku hanya ingin bertemu Bunda. Aku harus berada di urutan pertama agar bisa bertemu Bunda." Lanjutnya dengan lelehan air mata yang membasahi pipi.
Yuta hanya diam. Ia hanya menatap Yuna dalam.
"Kenapa kau diam? Kenapa kau tidak mau mengalah? Ini semua salahmu! Aku tidak bisa mengunjungi bunda sekarang."
"Aku tidak bisa. Maafkan aku. Aku siswa yang mendapatkan beasiswa. Peringkatku tidak boleh turun. Maafkan aku Yuna."
"Kalau begitu kau tidak boleh menjadi partner bisnis kakakku."
"Baiklah kalau itu bisa membuatmu lebih baik saat ini. Sekali lagi maafkan aku Yuna."
Yuta pergi membawa barang-barangnya meninggalkan Yuna yang masih berdiri dengan lelehan air mata yang masih mengalir  di pipinya.
***
Keesokan harinya, Yuna mengunjungi kantor sang Ayah yang berada di kota Mawar dengan membawa beberapa kartu ATM di genggamannya.