"Pagi, Bu Manda. Barusan kita lagi ngobrolin rencana keranjang solidaritas buat bulan mulia."
Kebohongan besar, pikir si pemilik toko sarkastik. Senyum simpul merekah di wajah cantik Bunda Manda. Dengan anggun, ia memasuki toko dan mulai memilih barang.
Seorang ibu berdaster bunga-bunga mencolek bahu Bunda Manda. Mengatakan jika ketua RW akan menghentikan bantuan keranjang solidaritas. Bunda Manda menoleh bingung. Gerakan tangannya memilih telur yang kondisinya masih bagus terhenti.
"Soalnya Bu Manda dikategorikan mampu. Lah itu, suaminya aja punya BMW." Si ibu berdaster motif bunga menutup paparannya.
Ayah Calvin dapat menangkap percakapan itu dari tempatnya bersembunyi. Hati pria mana yang tak melonjak girang jika diakui sebagai suami dari wanitanya? Kesenangan Ayah Calvin memudar sirna saat Bunda Manda menimpali.
"Oh, dia bukan suami saya. Suami saya sudah meninggal."
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Puluhan palu godam menghantam dada Ayah Calvin. Tiap kata yang terucap dari lisan istrinya meruntuhkan segala bahagia dan rasa percaya diri.Â
Bunda Manda masih menganggapnya tiada. So, apa maksud ciuman yang berbalas, air mata, selimut, dan belaian di rambut? Tubuh pria itu lunglai. Tersandar di tembok belakang toko.
"Trus dia siapa? Kok tinggal di rumah Bu Manda?" selidik ibu lainnya.
Bunda Manda hanya angkat bahu. Terlalu panjang untuk diceritakan. Kalaupun ia memutuskan untuk berbelah rasa, ibu-ibu penggosip ini bukanlah rekomendasi yang tepat. Jewelry sibling lebih lumayan tenimbang para penggosip berlidah panjang.
Semua belanjaan telah bertukar dengan uang. Bunda Manda segera pamit. Berjalan secepat dia bisa menuju rumah. Tak ingin membuat Silvi menunggu kelewat lama. Tas-tas kresek berisi terigu, gula, minyak goreng, mentega, dan margarin berayun liar di lengannya.