Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiow Pu Chi, Papa

20 April 2020   06:00 Diperbarui: 20 April 2020   06:10 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiow Pu Chi, Pa

Toko kelontong itu terletak di ujung perumahan. Letaknya strategis. Berbatasan dengan perumahan dan perkampungan di seberang sana. Sebutlah toko itu terbesar di wilayah sini.

Pemilik toko tak lain seorang pria keturunan setengah baya. Dia kurus, tinggi, dan tampan. Layaklah Ryan Wong disejajarkan dengan Ayah Calvin. Ayah Calvin dan Ryan adalah segelintir penghuni kompleks berdarah keturunan.

Pagi adalah prime time. Orang-orang tumpah ruah ke toko itu. Mereka membeli sesuatu sembari mengabarkan breaking news. Ternyata mayoritas penghuni kompleks penggosip ulung. Breaking news adalah hal favorit mereka. 

Jadwal pasar malam, berita si A akan menikah, si B yang akan melahirkan, dan si C yang diisukan menikah karena kecelakaan. Jarum patah sekalipun dapat menyebar secepat pandemi virus Corona. Makin negatif beritanya, makin hot pembahasannya. Orang-orang cenderung lebih mudah menyerap hal negatif.

Toko bercat biru pucat itu menjual semua barang keperluan rumah. Penataannya rapi, isinya pun lengkap. Sebutkan apa pun barang yang kalian butuhkan, maka pemilik toko akan mengambilkannya dengan senang hati. Prinsip toko itu adalah memenuhi kebutuhan warga perumahan dan sekitarnya.

Di hari-hari tertentu, si pemilik toko menggratiskan barang jualannya. Penghuni kompleks tak sabar menanti Imlek dan Waisak. Di situlah uang belanja mereka bisa sedikit dikurangi. Ia pun royal pada anak-anak. Sering mereka diberinya permen, coklat, dan biskuit. Silvi jadi salah satu anak yang beruntung itu.

Ke sanalah Bunda Manda pagi ini. Ia mengayun langkah sambil bersenandung kecil. Tanpa sepengetahuannya, Ayah Calvin lekat mengekori. Memanfaatkan Bunda Manda yang kurang observant. Kesempatan dalam kesempitan, mungkin begitulah kira-kira.

Hatinya dirayapi waswas ketika bangunan toko menjulang di depan mata. Iris matanya menangkap kerumunan geng penggosip ulung. Berdiri berjajar di depan etalase. Bibir dan tangan mereka bergerak sama cepatnya. Tangan memilih-milih barang, bibir mendengungkan breaking news.

"Sssttt...udah dengar belum?" bisik seorang ibu yang badannya paling gemuk.

"Katanya, pak RW mau berhenti kasih keranjang solidaritas buat Bu Manda."

"Lho, kenapa?"

"Iya, aneh. Bu Manda kan janda. Baru ditinggal mati Pak Hilarius lagi."

Si ibu bertubuh tambun memasang muka sebal. Jelas tak senang karena antek-anteknya kurang update.

"Weladalaaah...jadi, kalian belum tahu tho? Bu Manda udah punya suami sekarang."

Di balik konter, Ryan geleng-geleng kepala. Tak habis pikir dengan daya nalar dan spekulasi golongan penggosip itu. Tetapi obsesi mereka membicarakan kabar yang belum valid tidak buruk juga untuk kelangsungan bisnisnya.

"Suami? Suaminya Bu Manda bukannya udah meninggal?" Seorang wanita dengan rambut digelung ketat nimbrung. Satu tangannya mencomot sebungkus roti. Lihat kan? Kalap dia.

"Beberapa hari ini, ada laki-laki tinggal di rumahnya. Wah, lakinya ganteng lho, Bu. Lebih tinggi dari suami kita. Orangnya putih, rambutnya ikal, tunggangannya mobil bagus. Apa ndak keren itu?"

Ryan terbatuk untuk menyamarkan tawanya. Di jalan depan toko, Bunda Manda dan Ayah Calvin menahan senyum. Luar biasa deskripsi para penggosip ulung.

"Memang benar itu su..."

"Selamat pagi, ibu-ibu." Bunda Manda menyapa riang. Volume suaranya sengaja dikeraskan.

Para ibu menutup mulut berjamaah. Topik distop karena lakon dalam pembicaraan telah tiba. Ryan tersenyum lebar hingga matanya menghilang.

"Pagi, Bu Manda. Barusan kita lagi ngobrolin rencana keranjang solidaritas buat bulan mulia."

Kebohongan besar, pikir si pemilik toko sarkastik. Senyum simpul merekah di wajah cantik Bunda Manda. Dengan anggun, ia memasuki toko dan mulai memilih barang.

Seorang ibu berdaster bunga-bunga mencolek bahu Bunda Manda. Mengatakan jika ketua RW akan menghentikan bantuan keranjang solidaritas. Bunda Manda menoleh bingung. Gerakan tangannya memilih telur yang kondisinya masih bagus terhenti.

"Soalnya Bu Manda dikategorikan mampu. Lah itu, suaminya aja punya BMW." Si ibu berdaster motif bunga menutup paparannya.

Ayah Calvin dapat menangkap percakapan itu dari tempatnya bersembunyi. Hati pria mana yang tak melonjak girang jika diakui sebagai suami dari wanitanya? Kesenangan Ayah Calvin memudar sirna saat Bunda Manda menimpali.

"Oh, dia bukan suami saya. Suami saya sudah meninggal."

Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Puluhan palu godam menghantam dada Ayah Calvin. Tiap kata yang terucap dari lisan istrinya meruntuhkan segala bahagia dan rasa percaya diri. 

Bunda Manda masih menganggapnya tiada. So, apa maksud ciuman yang berbalas, air mata, selimut, dan belaian di rambut? Tubuh pria itu lunglai. Tersandar di tembok belakang toko.

"Trus dia siapa? Kok tinggal di rumah Bu Manda?" selidik ibu lainnya.

Bunda Manda hanya angkat bahu. Terlalu panjang untuk diceritakan. Kalaupun ia memutuskan untuk berbelah rasa, ibu-ibu penggosip ini bukanlah rekomendasi yang tepat. Jewelry sibling lebih lumayan tenimbang para penggosip berlidah panjang.

Semua belanjaan telah bertukar dengan uang. Bunda Manda segera pamit. Berjalan secepat dia bisa menuju rumah. Tak ingin membuat Silvi menunggu kelewat lama. Tas-tas kresek berisi terigu, gula, minyak goreng, mentega, dan margarin berayun liar di lengannya.

Tubuh Ayah Calvin merosot ke aspal. Matanya setengah terpejam. Telah sia-siakah ia berusaha selama ini? Well, belum bisa dikatakan usaha yang panjang. Belum juga sebulan ia memulai lembaran baru.

Lembaran baru? Entah tinta warna apa yang diteteskan Bunda Manda ke lembaran satu ini. Yang jelas, hati Ayah Calvin kelam luar biasa.

Ayah Calvin berontak. Dia sedih dan marah. Bunda Manda bermain tarik ulur perasaan.

Mengapa dirinya tak dianggap?

Mengapa mata hati Bunda Manda belum terbuka?

Belum cukupkah semua yang dia lakukan selama beberapa minggu terakhir untuk menebus momen yang hilang?

Rentetan pertanyaan bagai melecehkan Ayah Calvin. Masih terlalu banyak momen yang mesti ditebusnya. Tak dinyana, pecah hatinya saat Bunda Manda meniupkan desas-desus bila sang suami telah berpulang.

Tidak. Ayah Calvin belum pergi. Dia masih di sini. Separah itukah kesalahan yang telah dia perbuat? Apakah mengabaikan anak dan istri selama tujuh tahun benar-benar tak termaafkan? Terlalu, mungkin kata yang lekat dengan salah satu pedangdut senior itu yang pantas disematkan padanya.

Semula Ayah Calvin senang. Senang lantaran istrinya takkan lagi mendapatkan bantuan keranjang solidaritas. Itu berarti, dia punya peluang besar untuk memenuhi kewajibannya sebagai suami yang baik. Nafkah Silvi dan Bunda Manda berada dalam list tanggung jawabnya.

Tapi...

Kesenangan itu memudar seiring kebohongan Bunda Manda. Suaminya telah meninggal dunia. Hoax, tidak benar, berita palsu!

Bagian depan jas Ayah Calvin tersiram tetesan darah segar. Cairan merah itu bersumber dari hidungnya. Darah terus mengalir. Kesadaran perlahan meninggalkan raga.

**   

Minta ampun aku

Atas kesalahanku

Minta ampun aku

Atas dosa-dosaku

Aku bukan siapa-siapa

Aku hanya manusia

Yang tak lepas dari kesalahan

Ku serahkan hidupku pada-Mu

Tuhan ampuni aku

Ku memohon pada-Mu

Tujukkan jalan-Mu

Mohon ampun aku

Jika aku bersalah

Mohon ampun aku

Jika aku berdosa

Aku bukan siapa-siapa

Aku hanya manusia

Yang tak lepas dari kesalahan

Kuserahkan hidupku padaMu

Tuhan ampuni aku

Ku memohon padaMu

Tunjukkan jalanMu

Kuserahkan hidupku padaMu

Tuhan ampuni aku

Ku memohon padaMu

Tunjukkan jalanMu

Tunjukkan jalanMu (D'masiv-Mohon Ampun Aku).

**   

Mimpikah ini? Kedua kakinya memijak lantai sebuah rumah sakit. Rumah sakit itu terlihat lengang. Sangat kontras dengan suasana yang biasa dijumpainya di lobi bangunan putih itu.

Sepasang mata sipit itu tertumbuk ke arah loket administrasi. Seorang wanita muda berbaju putih dengan ikat kepala putih duduk di balik meja. Setumpuk nota menggunung di hadapannya.

"Keluarga Hilarius Tedjokusumo?" panggilnya.

Bukankah itu nama mertuanya? Merasa terpanggil, Ayah Calvin menghampiri loket. Sedikit heran menatap nota yang diulurkan. Harga kamar kelas dua. Segera saja ia bernegosiasi dengan si petugas administrasi. Meminta mertuanya dipindahkan ke ruang VIP.

"Tidak usah. Aku tidak butuh uangmu, bodoh."

Sepasang tangan mencekal pundaknya. Ayah Calvin terhuyung mundur ke belakang. Kedua pundaknya serasa dicengkeram es. Dingin sekali tangan itu.

Opa Hilarius berdiri angkuh di sebelah kiri. Ia nampak sehat dan bugar. Tak cocok jadi pasien rumah sakit.

"Papa?" Ayah Calvin tak dapat menyembunyikan rasa herannya. Bagaimana mungkin penderita leukemia stadium akhir bisa berjalan-jalan di lobi rumah sakit tanpa kursi roda?

"Jangan panggil aku Papa!" bentak Opa Hilarius galak. Kesan lembut menghilang dari air mukanya.

"Kau mencederai hati putriku! Menyalahgunakan kepercayaanku! Dan mengecewakan cucuku!"

Suara ayah mertua yang tersakiti menggema di sepanjang dinding putih. Ingin Ayah Calvin mendiamkan Opa Hilarius, agar tak mengganggu ketenangan rumah sakit. Tapi tak bisa. Pria yang bergelut dengan kanker darah hampir sepuluh tahun itu terlanjur muntab.

"Kausembunyikan putriku dari keluargamu! Kaubuat dirimu seolah single tanpa punya kehidupan lain, hingga mereka terus mengandalkanmu! Apa rencana burukmu untuk putri dan cucuku, Calvin?" teriak Opa Hilarius marah. Menggebrak meja administrasi.

Cengkeraman ketakutan membabi-buta. Teriakan Opa Hilarius sungguh di luar kebiasaan. Image sabar dan penuh kehangatan lenyap tak bersisa.

"Tiow pu chi, Papa..." lirih Ayah Calvin.

"Maaf?" ulang Opa Hilarius, tertawa getir.

"Kaupikir maaf dapat membereskan segalanya?"

Ayah Calvin tertunduk. Jiwanya dirajam penyesalan. Sesal ini seakan tak ada ujungnya.

"Maafkan aku, Pa. Maafkan aku."

Nafas Opa Hilarius cepat dan pendek-pendek. Ia melangkah berat memutari lobi. Berusaha mengatur emosi yang berlomba ingin diledakkan. Desakan memarahi menantunya seperti granat yang siap meledak kapan saja.

"Kau mencemari pernikahanmu sendiri! Jangan minta maaf padaku! Minta maaflah pada Tuhan, istri dan putrimu!"

"Aku akan segera minta maaf pada mereka, Pa."

Janji Ayah Calvin disahuti dengusan sinis. Opa Hilarius terlanjur skeptis. Reaksi negatif yang ditampakkan sang ayah sukses membikin hati pria Desember itu teriris.

"Tujuh tahun kautelantarkan Manda dan Silvi. Puluhan cinta Manda tolak demi menunggumu. Hampir tiap hari Silvi menanyakan Ayahnya." Opa Hilarius melanjutkan, nada suaranya turun dua oktaf.

"Aku mau saja berpura-pura jadi ayah Silvi. Tapi, aku sudah terlalu tua. Silvi bisa curiga. Tak ingin kusakiti perasaan cucuku semata wayang."

Ombak penyesalan mengobrak-abrik hati Ayah Calvin. Meninggalkan istri dan anak selama tujuh tahun, sungguh dosa besar. Berjibaku mengurusi anggota keluarga yang sakit membuat skala prioritas Ayah Calvin luruh. 

Ia gagal membagi perhatian dengan adil antara keluarga, Bunda Manda, dan Silvi. Ayah Calvin tak pernah memberikan dirinya untuk Bunda Manda dan Silvi di saat terpuruk.

"Papa, izinkan aku memperbaiki semuanya." Ayah Calvin memohon.

Alih-alih menanggapi, Opa Hilarius membuang pandang. Bersikap seolah menantunya tak ada. Seperti Paman Vernon yang menganggap Harry Potter bukan bagian dari Dursley family.

**   

"Syukurlah kamu sudah sadar."

Tembok belakang toko lenyap. Sesuatu yang empuk terasa di belakang punggungnya. Ayah Calvin meraba permukaan halus sebuah ranjang besar. Pria setengah baya duduk di sofa samping ranjang.

"Tadi kamu pingsan di belakang tokoku. Aku bawa saja ke rumah. Namaku Ryan. Kamu?"

"Calvin..."

Ryan mengangguk. Mematri nama itu di otaknya. Pria yang ditolongnya mirip dengan deskripsi para penggosip ulung.

"Terima kasih," lanjut Ayah Calvin setelah terdiam sejenak.

"Sama-sama. Kamu suami Manda, kan?"

Dari mana pria ini mengetahuinya? Baguslah, dia tidak percaya gosip yang disebar wanita penghuni kompleks.

"Iya. Tapi Manda tidak mengakuiku. Begitu juga seisi perumahan."

"Aku percaya padamu." Ryan menyela yakin.

Semangat Ayah Calvin membuncah. Akhirnya, ada yang percaya. Ryan baru saja kenal dia. Mengapa langsung percaya?

"Matamu tak bisa berdusta. Kamu benar-benar suami Manda dan ayah Sil..."

Pintu kamar menjeblak terbuka. Seorang anak lelaki seumuran Silvi berlarian menerabas pintu. Suara tawanya begitu renyah.

"Azka...jangan lari-larian, Nak. Nanti kamu jatuh." Kata Ryan mengingatkan. Sementara Azka merayap naik ke pangkuannya.

"Dia anakmu?" tanya Ayah Calvin bodoh.

"Ya. Namanya Azka Nicholas Wong. Dia homeschooling, aku dan ibunya yang mendampinginya belajar."

Melihat Azka, Ayah Calvin teringat Silvi. Buru-buru ia bangkit. Membenahi penampilannya. Tangannya ditarik Ryan. Pria itu berbaik hati mengantarnya pulang.

Sepanjang perjalanan pulang, Ayah Calvin menarik benang konklusi. Ryan teman yang baik. Ia bisa dipercaya. Bahkan Ryan menawari Ayah Calvin untuk mendekatkannya dengan para tetangga dan jajaran pengurus lingkungan. Kesempatan bagus bagi Ayah Calvin untuk memperkenalkan diri dan mendapat pengakuan.

Ayah Calvin tak mudah akrab dengan orang lain. Namun, ia cepat akrab dengan Ryan. Dari obrolan singkat mereka, dia tahu kalau teman barunya ini dulu menekuni bisnis perkapalan. Pada akhirnya dia banting setir ke jalur bisnis lain.

Perbincangan ringan itu membawa mereka sampai ke halaman rumah Bunda Manda. Terlihat Silvi duduk di kursi teras. Perban di kaki kirinya belum dilepas. Terpandang olehnya nanah bercampur darah membasahi perban. Silvi belum bisa berjalan normal. Maka dia hanya bisa melambai pada Ayahnya.

"Sayangku..." Ayah Calvin menggendong Silvi. Menciumi keningnya.

"Ayah katanya mau masak nasi goreng." Silvi merajuk manja. Di belakang mereka, Ryan tersenyum kecil.

"Iya, Sayang. Ayah ganti perban Silvi dulu ya."

Makin besar kepercayaan Ryan. Kelembutan Ayah Calvin, sorot matanya yang penuh kesedihan, dan caranya memperlakukan Silvi dengan penuh kasih sayang telah menjadi b

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun